Minggu, 06 Januari 2013



PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
(Sukmawati Nur Fitri)
0901055204
A.     Latar Belakang

Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para masyarakat dalam menunjang pradaban hidup mereka karena itulah para
banyak masyarakat selalu mendapatkan problematika yang bermacam-macam yang datang secara langsung maupun tidak langsung dari komunitas yang dijadikan sebagai sasaran dakwah.

Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan
kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telahmencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di
Indonesia sangat pesat yang dimulai dari masuknya dari daerah Aceh dengan tujuan menyebarkan agama dakwah dengan menjual rempat-rempah

B.     Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia

Disini berbeda pendapat tentang permulaan Islam di Indonesia antara lain: Bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak identik dengan berdirinya kerajaan Isalam pertama di Indonesia mengingat bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah para pedagang, bukan missi tentara dan bukan pelarian politik. Mereka tidak ambisi langsung mendirikan kerajaan Islam. Lagi pula di Indonesia pada zaman itu sudah ada kerajaan-kerajaan Hindu, Budha yang banyak jumlahnya dan berkekuatan besar. Jadi masa tenggang antara kedatangan orang Islam pertama di Indonesia dengan berdirinya kerajaan Islam pertama adalah sangat lama.
Nah disini timbul pertanyaan dibenak kita. Orang Islam dimanakah yang pertama dating dan berdakwah Islam di Indonesia, dan pada abad berapa?

Ada beberapa teori untuk menjawab pertanyaan tersebut, antara lain sebagai berikut:
  1. yang dating pertama kaili ialah myballig dari Persi (Iran) pada pertengahan abad 12 Masehi. Alasanya karena kerajaan Islam pertama di Indonesia bernama Pase (Pasai) berasal dari Persi. Ditambah dengan kenyataan bahwa orang Islam Indonesia sangat hormat dengan keturunan Sayid atau Habib yaitu keturunan Hasan dan Husen putra Ali Bin Abi Tholib.
  2. Yang dating pertama kali ialah Muballig dari India barat tanah Gujarat. Alasanya karena ada persamaan bentuk nisan dan gelar nama dari Muballig yang oleh Belanda dianggap sebagai kuburan orang-orang Islam yang pertama di Indonesia.

Adapun hasil seminar yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1936 mengenai masuknya agama Islam di Indonesia menyimpulkan sebagai berikut:
  • Menurut sumebr bukti yang terbaru, Islam pertama kali dating di Indonesia pada abad ke VII M/1 H di bawa oleh pedagang dan muballig dari negeri Arab.
  • Daerah yang pertama di masuki ialah pantai barat pulau Sumatra yaitu di daerah Baros, tempat kelahiran ulama besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun kerajaan Islam yang pertama ialah di Pase.
  • Dalam proses pengislaman selanjutnya orang-orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan, dan proses itu berjalan secara damai.
  • Kedatangan islam di Indonesia ikut mencerdaskan rakyat dan membina karakter bangsa. Karakter tersebut dapat di buktikan pada perlawanan rakyat melawan penjajahan bangsa asing dan daya tahannya mempertahankan karakter tesebut selama dalam zaman penjajahan barat dalam waktu 350 Tahun.

C.     Periode Pada Zaman Belanda

Pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan satu peraturan yang mengharuskan para guru agama memiliki izin khusus untuk mengajar. Banyak sikap mereka yang sangat merugikan lajunya perkembangan pendidikan agama di Indonesia, misalnya
  • Setiap sekolah atau Madrasah harus memiliki izin dari bupati/pejabat pemerintahan belanda
  • Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci
  • Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkanya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.

Atas dasar perjuangan dari organisasi Islam, melalui konggres Al-Islam pada tahun 1926 di Bogor, peraturan tentang penyelenggaraan pendidikan islam yang di buat oleh pihak Belanda pada tahun 1905 dihapuskan dan diganti dengan peraturan yang baru yang terkenal dengan sebutan Ordonansi Guru. Menurut peraturan baru ini, izin Bupati tidak lagi diperlukan untuk menyelenggarakan pendidikan Islam. Guru agama cukup memberitahukan pada pejabat yang bersangkutan tentang maksud mengajar. Disamping itu, guru juga disuruh mengisi formulir yang telah disediakan oleh pejabat pemerintahan Belanda yang isinya berupa persoalan  berupa murid dan kurikulum

Di sekolah-sekolah Umum secara resmi belum diberikan pendidikan agama. Hanya di fakultas-fakultas hokum telah ada matakuliah Ismologi, yang dimaksudkan agar mahasiswa dapat mengetahui hokum-hukum dalam Islam. Sedangkan dosen-dosen yang memberikan matakuliah Ismologi tersebut pada umumnya bukan orang Islam dengan menggunakan buku-buku atau literature yang dikarang oleh para orentalis.
 D. Periode Pada Zaman Jepang
Keadaan agak berubah, karena ada kemajuan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah Umum. Hal ini disebabkan karena mereka mengetahui bahwa sebagian besar bangsa Indonesia adalah pemeluk agama Islam, maka untuk menarik simpati dari pemeluk agama Islam maka Jepang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan agama Islam.

Terlebih lagi pada awalnya, pemerintah Jepang menampakan diri seakan-akan membela kepentingan Islam yang merupakan siasat untuk kepentingan perang Dunia II. Masalahnya Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama. Untuk mendekati umat Islam Jepang menempuh beberapa kebijakan diantaranya pada jaman Jepang dibentuknya KUA, didirikanya Masyumi dan pembentukan Hisbullah.

Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan, yaitu sekolah-sekolah telah di selenggarakan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah suasta lain seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diiziankan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk Jepang.

Di Sumatra, organisasi-organisasi Islam menggabungkan diri dalam majelis Islam tinggi. Kemudian majelis tersebut mengajukan usul kepada pemerintah Jepang, agar di sekolah-kolah pemerintah diberikan pendidikan agama sejak sekolah rakyat tiga tahun dan ternyata usul tersebut disetujui dengan syarat tidak diberikan anggaran biaya untuk guru-guru agama.

Mulai saat itu maka pendidikan agama secara resmi boleh diberikan di sekolah-kolah pemerintah, namun hal ini hanya berlaku di pulau Sumatra saja. Sedangkan di daerah-daerah lain masih belum ada pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, yang ada hanya pendidikan budi pekerti yang didasarkan atau bersumber pada agama juga.
E.  Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru

Kalau dirujuk kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang di embank yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekwen sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan.

Pada masa Orde Baru pendidikan Islam dikembangkan masih dalam batas pemahaman dan pengembangan pengetahuan saja, baru setelah masuk pada abad 21 maka pendidikan Islam lebih difokuskan pada penerapan atau aktualisasi dari ilmu pengetahuan dan selalu didasrkan oleh keimanan dan ketakwaan. Hal ini sesuai dengan beberapa strategi yang diterapkan di sekolah-sekolah guna peningkatan kualitas peserta didiknya baik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai landasan menuju pembaharuan masyarakat islam yang maju.

Pada masa itu juga banyak jalan-jalan yang ditempuh untuk menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan Umum. Hal ini bias dilihat dari surat keputusan bersama (SKB) 2 mentri tentang sekolah Umum dan Agama. Dengan adanya SKB tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bias melanjutkan kesekolah yang lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bias dilakukan dengan cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus.

Tehknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-kolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu sehubungan dengan perkembangan cabang ilmu pengetahuan dan perubahan system proses belajar mengajar. Pendidikan Islam dengan pendidikan nasional semakin Nampak dalam rumusan pendidikan nasional yaitu pendidikan nasional ialah usaha sadar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya estetik, dan jasmaniany sehingga dia dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama dengan sesame manusia membangun masyarakatnya serta membudidayakan alam sekitar.

F.  Tokoh-tokoh Pendidikan Islam Di Indonesia

Adapun tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia antara lain:

1)    Kyai Haji Ahmad Dahlan (1869-1923)

K.H Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari K.H Abu Bakar Bin Kyai Sulaiman, khatib di Masjid besar (Jami’) kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu Setelah beliau menamatkan pendidikan dasarnya di suatu Madrasah dalam bidang Nahwu, Fiqih dan Tafsir di Yogyakarta beliau pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan beliau menuntut ilmu disana selama satu tahun. Salah seorang gurunya Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 beliau mengunjungi kembali ke Makkah dan kemudian menetap di sana selama dua tahun

Beliau adalah seorang yang alim luas ilmu pengetahuanya dan tiada jemu-jemunya beliau menambah ilmu dan pengalamanya. Dimana saja ada kesempatan sambil menambah atau mencocokan ilmu yang telah diperolehnya. Observation lembaga pernah beliau datangi untuk mencocokan tentang ilmu hisab. Beliau ada keahlian dalam ilmu itu. Perantauanya kelauar pulau jawa pernah sampai ke Medan. Pondok pesantren yang besar-besar di Jawa pada waktu itu banyak dikunjungi.

Cita-cita K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, beliau hendak memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam. Usaha-usahanya ditujukan hidup beragama, keyakinan beliau ialah bahwa untuk membangun masyarakat bangsa harus terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. K.H Ahmad Dahlan pulang ke Rahmatullah pada Tahun 1923 M Tanggal 23 Pebruari dalam usia 55 Tahun dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yang cukup besar dan di segani karena ketegaranya.
2)    K.H Hasim Asy’ari (1971-1947)

K.H Hasim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari tahun 1981 M di Jombang Jawa Timur mula-mula beliau belajar agama Islam pada ayahnya sendiri K.H Asy’ari kemudian beliau belajar di pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan Semarang Madura dan lain-lain.

 Sewaktu beliau belajar di Siwalayan Panji (Sidoarjo) pada tahun 1891, K.H Ya’kub yang mengajarnya tertarik pada tingkahlakunya yang baik dan sopan santunya yang harus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan akhirnyabeliau dinikahkan dengan putri kiyainya itu yang bernama Khadijah (Tahun 1892). Tidak lama kemudian beliau pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim selama setahun, sedang istrinya meninggal di sana.

Pada kunjunganya yang kedua ke Makkah beliau bermukim selama delapan tahun untuk menuntut ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah beliau membuka pesantren Tebuiring di Jombang (pada tanggal 26 Rabiul’awal tahun 1899 M)
Jasa K.H Hasim Asya’ari selain dari pada mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng ialah keikutsertaanya mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bahkan beliau sebagai Syekul Akbar dalam perkumpulan ulama terbesar di Indonesia.

Sebagai ulama beliau hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliu mempunyai sandaran hidup sendiri yaitu beberapa bidang sawah, hasil peninggalanya. Beliau seorang salih sungguh beribadah, taat dan rendah hati. Beliau tidak ingin pangkat dan jabatan, baik di zaman Belanda atau di zaman Jepang kerap kali beliau deberi pangkat dan jabatan, tetapi beliau menolaknya dengan bijaksana.

Banyak alumni Tebuiring yang bertebarang di seluruh Indonesia, menjadi Kyai dan guru-guru agama yang masyhur dan ada diantra mereka yang memegang peranan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia, seperti mentri agama dan lain-lain (K.H A. Wahid Hasyim, dan K.H Ilyas).

K.H Asy’ari wafat kerahmatullah pada tanggal 25 Juli 1947 M dengan meninggalkan sebuah peninggalan yang monumental berupa pondok pesantren Tebuiring yang tertua dan terbesar untuk kawasan jawa timur dan yang telah mengilhami para alumninya untuk mengembangkanya di daerah-daerah lain walaupun dengan menggunakan nama lain bagi pesantren-pesantren yang mereka dirikan.

3)    K.H Abdul Halim (1887-1962)

K.H Abdul Halim lahir di Ciberelang Majalengka pada tahun 1887. beliau adlah pelopor gerakan pembeharuan di daerah Majalengka Jawa Barat yang kemudian berkembang menjadi Perserikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911. yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya adalah seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan famili-familinya tetap mempunyai hubungan yang erat secara keluarga dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.

K.H Abdul Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak dengan belajra diberbagai pesantren di daerah Majalengka sampai pada umur 22 Tahun. Ketika beliau pergi ke Makkah untuk naik haji dan untuk melanjutkan pelajaranya.

Pada umumnya K.H Abdul Halim berusaha untuk menyebarkan pemikiranya dengan toleransi dan penuh pengertian. Dikemukakan bahwa beliau tidak pernah mengecam golongan tradisi ataupun organisasi lain yang tidak sepaham dengan beliau, tablignya lebih banyak merupakan anjuran untuk menegakan etika di dalam masyarakat dan bukan merupak kritik tentang pemikiran ataupun pendapat orang lain.

Pada tanggal 7 Mei 1962 K.H Abdul Halim pulang kerahmatullah di Majalengka Nawa Barat dalam usia 75 Tahun dan dalam keadaan tetap teguh berpegang pada majhab Safi’i.

PENUTUP
Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulan bahwa perkembangan Islam di Indonesia sangat pesat yang seperti berbeda pendapat tentang permulaan Islam di Indonesia antara lain: Bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak identik dengan berdirinya kerajaan Isalam pertama di Indonesia mengingat bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah para pedagang, bukan missi tentara dan bukan pelarian politik. Mereka tidak ambisi langsung mendirikan kerajaan Islam.
Pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan satu peraturan yang mengharuskan para guru agama memiliki izin khusus untuk mengajar. Banyak sikap mereka yang sangat merugikan lajunya perkembangan pendidikan agama di Indonesia, misalnya
  • Setiap sekolah atau Madrasah harus memiliki izin dari bupati/pejabat pemerintahan belanda
  • Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci

Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkanya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA


Djumhur, Sejarah Pendidikan,  Bandung : Ilmu, 1969

Fadhlil al-Djamali, Menerobos Krisis Pendidikan Islam, Jakarta : Golden Press, 1992

Malik, Fadjar, H.A. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarat : Alfa Grafitama, 1998

Moelim, Abdurrahman,  Islam Transformatif, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997

Mahmud Yunus, Prof Dr. H. Sejarah Pendidikan Islam¸ Jakarta : Mutiara Sumber Widya

Zuhairini, Dra, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2000
http://sea.effectivemeasure.net/emnb_81_2001990.gif

Selasa, 25 Desember 2012

PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH ABBASIYAH



(SUSI HANDAYANI)

A.  Sekilas Tentang Daulah Abbasiyah
Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah al-Abbas. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada masa-masa tersebut. Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I (132 H/750 M-232 H/847 M), masa pengaruh Persia pertama. Para khalifah pada masa periode itu dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus.
Kemakmuran masyarakat pada saat itu mencapai tingkat yang tinggi. Popularitas Daulah Abbasiyahmencapai puncaknya pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813 M-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Ma’mum digunakan untuk kepentingan sosial seperti: lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteraan berada pada zaman keemasan. Al-ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan banyak mendirikan sekolah.

B.  Metode Pendidikan/Pengajaran
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap  dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada mada Dinasti Abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
1.   Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ceramah disebut juga metode al-Sama, sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Metode qirs’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
2.   Metode menghafal, murid-murid membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya.[1] Sehingga dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali dan mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang baru.
3.   Metode Tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi sehingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa Daulah ini belum ada mesin cetak, engan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.[2]

C.  Materi Pendidikan
Materi pendidikan dasar pada masa Daulah Abbasiyah terlihat pada unsure demokrasinya, di samping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pilihan (ikhtiari).
Materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) ialah:
a.    Alquran
b.   Shalat
c.    Doa
d.   Sedikit ilmu nahwu dan bahasa Arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa Arab belum secara tuntas dan detail)
e.    Membaca dan menulis
Sedangkan materi pelajaran ikhtiar (pilihan) ialah:
a.    Berhitung
b.   Semua ilmu nahwu dan bahasa Arab (maksudnya nahwu yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntas dan detail)
c.    Syair-syair
d.   Riwayat/Tarikh Arab.[3]
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thanta, dalam tesisnya menyebutkan ada tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah terutama pada abad keempat hijriyah, ketujuh lembaga pendidikan tersebut:
a.    Lembaga pendidikan dasar (al-Khuttab)
b.   Lembaga pendidikan masjid (al-Masjid)
c.    Kedai pedagang kitab (al-Hawanit al-Warraqin)
d.   Tempat tinggal para sarjana (manazil al-ulama)
e.    Sanggar seni dan sastra (al-Shalunat al-adabiyah)
f.     Perpustakaan (dar al-Khuttub wa dar al’ilm), dan
g.   Lembaga pendidikan sekolah (al-Madrasah).[4]
Semua instuti pendidikan ini mempunyai karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Dalam pembahasan tulisan ini penulis hanya membatasi pendidikan pada tingkat dasar (al-Khuttab). Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar Kataba yang berarti menulis jadi Kuttab adalah tempat belajar dan menulis. Menurut Ahmad Syalabi Kuttab adalah lembaga pendidikan tingkat dasar.
Pengajaran pada tingkat kuttab meliputi:
a)   Membaca Alquran dan menghafalkannya
b)   Pokok-pokok agam islam seperti wudhu, shalat, puasa
c)   Menulis
d)   Kisah (riwayat) orang-orang besar
e)   Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa)
f)    Berhitung
g)  Pokok-pokok ilmu nahwu dan ilmu sharaf ala kadarnya
Pengajaran sepeti ini tidak dapat dijumpai di seluruh negara Islam karena masing-masing daerah terkadang berbeda sebagaimana pendapat Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan Alquran dan rasm (tulisannya). Di Andalusia diajarkan Alquran, menulis serta syair, pokok-pokok nahwu atau sharaf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Alfiqiyah) diajarkan Alquran, Hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan Ilmu Alquran.
Sistem pengajaran yang dilaksanakan pada waktu itu belum secara klasikal, namun bila dikaji dengan mendalam ternyata apa yang telah mereka lakukan dalam proses pembelajaran pada waktu itu jauh lebih baik dari sistem pengajaran yang dilakukan sekarang ini. Karena waktu belajar yang mereka gunakan jauh lebih efektif dan efisien dari waktu belajar sekarang. Waktu belajar mereka dari pagi hari hingga waktu Ashar, sedangkan waktu belajar sekarang hanya dari pagi hari sampai dengan waktu Zuhur (untuk anak kelas 3 sampai dengan kelas 6) bagi anak kelas 1 dan kelas 2 dari pagi sampai jam sepuluh. Jumlah hari mereka belajar dalam 1 minggu dari hari Sabtu sampai dengan hari Kamis, sedangkan hari Jumat mereka libur, tampak waktu belajar mereka cukup padat dan efisien. Tetapi pada umumnya anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.

D. Metode Mengajar
Pada masa Abbasiyah pengajaran diberikan kepada murid-murid seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Jadi, guru harus mengajar muridnya dengan berganti-ganti. Oleh karena itu, biasanya diadakan guru bantu. Pada saat itu belum memakai bangku, meja dan papan tulis, mereka hanya memakai baju tulis dan kertas yang bersahaja. Mereka belajar dengan duduk bersila berkeliling (berhalaqah) menghadapi guru.
Sedangkan metode mengajar yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi juga dengan cara halaqah. Guru duduk di atas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi kepada semua siswa yang hadir.
Pada masa itu belum ada kitab-kitab yang ditetapkan mengajarkannya seperti sekarang, karena memang pada waktu itu belum ada percetakkan modern untuk mencetak buku-buku. Pelajaran diberikan dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau murid menyalin dari buku yang telah ditulis dengan tangan. Menurut sistem yang berlaku pada waktu itu mata pelajaran yang telah dijelaskan di atas, bukan diajarkan sekaligus kepada murid-murid, melainkan diajarkan satu per satu, misalnya:mula-mula diajarkan Alquran saja, setelah tamat atau hafal baru diajarkan pokok-pokok nahwu/sharaf. Kemudian diajarkan mata pelajaran lainnya, demikian seterusnya.[5]
Di samping itu para guru diharuskan mengajarkan qir’at yang bagus yaitu qira’at Nafi’ namun demikian tidak apa-apa bila ia menggunakan qira’at yang lain karena seluruh ahli qi’rat adalah sahabat Nabi.
Guru diharuskan mengajarkan cara berwudhu, cara shalat, hitungan rukuk, sujud dan bacaan-bacaannya, takbir dan cara-cara duduk serta salam, karena shalat merupakan rukun dan tiang agama. Guru juga diharuskan mengajarkan secara detail mengenai shalat-shalat Sunnah, shalat jenazah, dan doa-doa. Siswa tidak hanya mempelajari teori saja tetapi juga harus mempraktikannya.
Adapun materi pendidikan yang bersifat ikhtiar atau pilihan meliputi:
·     Berhitung
·     Syair-syair
·     Khat atau tulisan indah
·     Semua nahwu dan sharaf
Pelajaran-pelajaran ini tetap dibebaskan atau merupakan pilihan, selama ahli atau keluarganya tidak mensyaratkannya.
Materi pendidikan dasar di atas selaras dengan falsafah masyarakat yang hidup di dalamnya dan bertujuan untuk mewujudkannya:
a.    Persiapan untuk kehidupan di akhira, dengan cara mendidik anak-anak menaati perintah Allah SWT, dan menjauhi segala larangan-Nya, serta senantiasa bersyukur kepada-Nya.
b.   Memungkinan anak untuk mengetahui kelompok-kelompok ilmu dan keahlian-keahlian yang akan membantu mereka mencapai keberhasilan dalam hidup dan bermanfaat bagi masyarakat.

Referensi
Suwito, Dr. Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.


[1]  George Maksidi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), Hlm 104.
[2]    Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1419 H/1999 M), cet. ke-1, hlm. 77-79.
[3]    Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/1990 M), Cet. ke-6, hlm 50.
[4]    Hasan ‘Abd Abd al-‘AL, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th), hlm 181-219.
[5]    Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/1990 M), Cet. ke-6, hlm 51-52.

Minggu, 16 Desember 2012

Pendidikan Pada Masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin


(Susi Handayani)

PENDAHULUAN
Manusia setiap saat, membutuhkan pelajaran dari alam semesta sampai ia menemukan cara bertindak yang tepat untuk memertahankan kehidupannya. untuk kebutuhan belajar ini diperlukan pengaruh dari oleh luar. pengaruh ini oleh Imam Santoso, disebut dengan istilah “Pendidikan”.[1] karenanya pendidikan adalah suatu esensial bagi manusia, melalui pendidikan, manusia bisa belajar mempelajari alam semesta demi mempertahankan khidupannya karena pentingnya pendidikan.
Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang sangat penting dan tinggi. Antara lain dalam surat al-mujaddalah Allah berfirman yang artinya: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberaa derajat”. (QS. al-Mujadalah 58: 11). Umat Islam dalam sejarahnya telah memperlihatkan tentang pentingnya pendidikan. Hal ini ditelusuri sejak saat masa rasul hingga masa sekarang ini.

PEMBAHASAN
1.   Pendidikan Pada Zaman Rasulullah
 Pada waktu Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan “kaum jahili”. Kaum Quraisy penduduk Mekkah sebagai bangsawan di kalangan bangsa Arab hanya memiliki 17 orang yang pandai tulis baca. Suku Aus dan Khazroj penduduk Yatsrib (Madinah) hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca.[2]  hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian lain. Hidup mereka mengikuti hawa nafsu, berpecah-pecah, saling berperang satu dengan yang lain karena sebab yang sepele, yang kuat menguasai yang lemah, wanita tidak ada harganya, berlakulah hukum rimba. Keistimewaan mereka hanyalah ketinggian dalam bidang syair-syair jahili yang disebarkan secara hafalan. Agama warisan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as hanya tinggal bekas-bekasnya yang disewenangkan.
Mengahadapi kenyataan itu Nabi Muhammad SAW di utus Allah dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia. Dalam masalah ilmu pengetahuan perhatian Rasul (Muhammad SAW) sangat besar, di antaranya.
a.    Wahyu pertama yang diterima Rasul berbunyi bacalah. Perintah ini pada hakikatnya adalah pencanangan dan pemberantasan buta huruf, suatu tindakan awal yang membebaskan manusia dari ketidaktahuan.
b.   Bangsa Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya. sedangkan hafalan merupakan salah satu alat untuk pengembangan ilmu. oleh karena itu, Nabi saw tetap memanfaatkan keistimewaan daya ingat bangsa Arab. Mereka disuruh menghafal Alquran dengan sungguh-sungguh sehingga mereka dapat mengahafal secara autentik dan utuh.
c.  Nabi membuat tradisi baru yaitu mencatat dan menulis. Semua sahabat yang pandai membaca dan menulis diangkat menjadi juru tulis untuk mencatat semua wahyu yang turun pada benda yang dapat ditulisi seperti kulit, tulang, pelapah kurma, dan lain-lain. adanya sumber pokok ajaran Islam yaitu Alquran dan Alhadits yang harus ditulis dan dihafal secara utuh telah mendorong kaum muslimin untuk sungguh-sungguh mementingkan kepandaian tulis baca.
d.   Alquran merupakan sumber inti ilmu pengetahuan, karena alquran memuat:
·     Kisah umat-umat terdahulu
·     Segala macam hukum dasar: perkawinan, perdata, pidana, perniagaan, juga berbagai perundang-undangan: politik, ekonomi, sosial.
·     Sifat-sifat Allah swt, seperti Ilmu, Qudrah, Irradah, Wahdaniyah, dan lain-lain.

Dengan landasan-landasan itu Rasul mulai membangun jiwa umat Islam. Rasul membimbing sahabat-sahabat untuk beriman dan berilmu, untuk memercayai Allah Yang Maha Esa, tidak syirik, berakhlak mulia, data dipercaya, jujur. Rasul menjelaskan kepada para sahabat tentang Islam, amal sholeh, dan kepercayaan.
Kegiatan yang dilakukan Rasulullah seperti mengadakan Taklim (pembelajaran) kepada para sahabatnya, guna mengetahui ajaran-ajaran Islam, sehingga Rasul membuat kompleks belajar Dar al-Arqam yang bertempat di rumah sahabat Abu al-Arqam. Di situlah Rasul berdakwah sekaligus membimbing dan mendidik umat Islam sehingga tempat itu dapat dianggap sebagai Lembaga Pendidikan pertama yang didirikan Rasulullah SAW.
Lembaga Dar al-Arqam memang merupakan tempat pusat kegiatan umat Islam awal. Mula-mula secara sembunyi-sembunyi karena khawatir terhadap tindakan suku Quraisy yang tidak menyukai kegiatan Rasul. Dalam perkembangannya menjadi tempat yang terbuka untuk umum, kegiatannya pun bertambah banyak.
Sebagaimana diketahui, dakwah Rasul mempunyai beberapa metode. Metode-metode itu adalah:
1)  Dakwah secara sembunyi-sembunyi
2)  Dakwah melalui silaturahmi keluarga besar bani Hasyim
3)  Dakwah secara terang-terangan
4)  Dakwah mempergunakan segala sarana; politik, ekonomi, perkawinan, perdamaian, surat-menyurat. khusus yang terakhir dilakukan Rasul setelah hijrah ke Madinah dan telah menjadi kepala negara.
Ketika Rasul hijrah dan diangkat menjadi kepala negara, Rasul melaksaanakan.
a. Prolamasi berdirinya sebuah negara dengan cara mengumumkan nama Madinah al-Munawarah bagi kota Yatsrib.
b.   Mendirikan Masjid Nabawi sebagai pusat kegatan umat Islam.
c. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, persaudaraan berdasarkan agama sebagai basis warga negara.
d.  Membuat undang-undang dan peraturan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang terkenal dengan istilah Traktat Madinah.
e. Membuat batas wilayah sebagai basis teritorial dengan membuat parit pada perang khandaq.
f.     Membuat  lembaga-lembaga pelengkap sebuah pemerintahan, semisal angkatan perang, pengadilan, lembaga pendidikan, bail al-mal, lembaga yang mengatur administrasi negara, serta menyusun ahli-ahli yang cakap yang bertinda sebagai pendamping Nabi.

Melalui usaha itu Islam berkembang, umat Islam semakin banyak dan wilayah Islam meluas. Ketika Rasul wafat, wilayah Islam telah meliputi sebagian besar jazirah Arab. sebuah negara dengan persyaratan-persyaratan yang maju untuk zamannya, sebuah negara demokrasi yang berbentuk republik. Dengan usaha itu Rasul telah merintis peradaban Islam, dalam waktu 23 tahun Rasul telah mengubah bangsa Arab dari bangsa Jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban dengan jiwa yang Islami, bersatu, berakhlak mulia, dan berpengetahuan. Dengan bimbingan Nabi dan pengaruh Alquran telah lahir orang-orang pandai.   
Usaha pendidikan ini kemudian ditindaklanjuti oleh generasi berikutnya, pendidikan dan pengajaran terus tumbuh dan berkembang pada masa khulafaur Rasyidin.

2.   Pendidikan Pada Khulafaur Rasyidin
Rasulullah wafat, Khulafaur Rasyidin menggantikan kedudukan beliau, di antara empat khalifah itu ternyata Umar ibn Khattab mempunyai kedudukan istimewa. Keistimewaan Umar terletak pada kemampuannya berpikir kreatif. ke-brilian-an beliau dalam memahami syariat Islam, diakui sendiri oleh Nabi dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Said al-Khudri ra. Rasulullah bersabda: “Sewaktu aku sedang tidur aku bermimpi melihat manusia dihadapkan kepadaku dan mereka itu memakai baju, diantaranya ada yang sampai kesusunya dan ada pula yang kurang dari itu. Dihadapkan pula kepadaku Umar ibn Khattab memakai baju yang dihelanya karena sangat dalamnya”. Sahabat-sahabat bertanya, “Apakah ta’wil mimpi tuan itu?” Jawab Nabi: “Agama”.[3]
Kreativitas Umar mulai tampak ketika ia mengkhawatirkan keutuhan Alquran karena banyaknya hufadz yang mati syahid. Untuk itu ia mengusulkan kepada Khalifal Abu Bakar untuk membukukan alquran yang sewaktu itu masih merupakan catatan-catatan lepas dan hafalan pribadi-pribadi sahabat walaupun sekarang bernama “Mushaf Usman”, tetapi gagasan awalnya berasal dari Umar, tidak diragukan lagi bahwa keutuhan alquran yang berasal dari gagasan Umar, merupakan warisan intelektual Islam yang paling berharga.
Di antara Khulafaur Rasyidin yang membangun peradaban Islam adalah Umar ibn Khattab. Umar ketika itu sudah menjadi Kepala Negara telah mengubah nama kpala negara yang semula bergelar Khalifah Al-Rasul menjadi Amirul Mu’minin.
Untuk mengatasi masalah, maka Umar berijtihad untuk:
1     Menetapkan hukum tentang masalah-masalah yang baru.
Dalam ketetapan itu sering seakan-akan bertentangan dengan sunnah atau ketetapan Abu Bakar pendahulunya. Namun apabila diteliti lebih mendalam, ternyata Umar memiliki jangkauan yang menyeluruh, mencakup keseluruhan ajaran Islam. Misalnya mengenai ghanimah (harta rampasan perang), surah al-Anfal mengajarkan bahwa harta rampasan perang, termasuk tanah, harus dibagikan dengan cara tertentu, sebagian untuk para tentara yang berperang.
2     Memperbaharui organisasi negara
Pada masa Rasul, sesuai dengan keadaannya organisasi negara masih sederhana. Tetapi ketika masa khalifah Umar, di mana umat Islam sudah terdiri dari bermacam-macam bangsa dan urusannya makin meluas, maka disusunlah organisasi negara sebagai berikut:
1)      Organisasi Politik terdiri:
a.    Al-Khilafaat, Kepala Negara
Dalam memilih kepala negara berlaku sistem “bai’ah”. Pada masa sekarang mungkin sama dengan sistem demokrasi.
b.   Al-Wizaraat, sama dengan menteri pada zaman sekarang. Khalifah Umar menetapkan Usman sebagai pembantunya untuk mengurus pemerintahan umum dan kesejahteraan, sedangkan Ali untuk mengurus kehakiman, surat-menyurat, dan tawanan perang.
c.    Al-Khitabaat, Sekretaris Negara. Umar mengangkat Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Arqom menjadi sekretaris untuk menjelaskan urusan-urusan penting. Usman bin Affan juga mengangkat Marwan bin Hakam.
2)      Administrasi Negara
a.    Diwan-diwan (departemen-departemen)
Ø  Diwan al-Jundiy (Diwan al-Harby): Badan Pertahanan Keamanan.
Ø  Diwan al- Kharaj/Baitul Mal yang mengurusi keuangan Negara, pemasukan dan pengeluaran anggaran belanja negara.
Ø  Diwan al-Qudhat (Departemen Kehakiman)
Umar mengangkat hakim-hakim khusus untuk tiap wilayah dan menetapkan persyaratannya.
b.   Al-Imarah ‘ala al-buldan (Administrasi Pemerintahan dalam Negeri)
c.    Mengembangkan Ilmu
Untuk kepentingan pengajaran di luar Jazirah Arab, dikirim guru-guru yang terdiri dari sahabat-sahabat ahli ilmu, yaitu Abdullah bin Mas’ud pergi ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik pergi ke Basrah, Muadz, Ubadah, Abu Darda dikirim ke Syam, Abdullah bin Amr bin Ash dikirim ke Mesir. Melalui tangan-tangan mereka berkembang ilmu keIslaman di negeri-negeri itu dan menghasilkan ulama (ahli ilmu) dalam jumlah yang lebih besar. Selanjutnya umat Islam mulai bergerak untuk mempelajari adat istiadat mereka, kaidah-kaidah orang Yahudi dan Nasrani, ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan mereka. hanya saja usaha-usaha mulia khalifah Umar itu tidak berlangsung lama karena Umar terbunuh oleh orang yang sakit hati kepadanya. Namun Umar diakui oleh para sarjana muslim dan bukan muslim bahwa ia adalah orang kedua sesudah Nabi yang paling menentukan jalannya kebudayaan Islam.

Kedudukan khalifah selanjutnya diganti oleh Usman bin Affan, seorang yang lemah lembut. Kelemah-lembutannya ini dipergunakan oleh keluarga bani Umayyah yang pernah memegang kekuatan politik sebelum Islam untuk meningkatkan dan mengembalikan kedudukannya sebagai pemimpin kaum Quraisy pada masa Islam. Peluang yang dimanfaatkan oleh keluarga bani Umayyah untuk menduduki jabatan penting menyebabkan timbulnya berbagai protes dan sikap oposisi yang datang dari seluruh daerah. Gerakan itu berakhir dengan pembunuhan terhadap khalifah ketiga Usman bin Affan.
Pembunuhan Usman merupakan malapetaka besar yang menimpa umat Islam. Di kalangan Umat Islam terjadi benturan antara ajaran Islam yang diturunkan melalui Muhammad yang berbangsa Arab dengan alam pemikiran yang dipengaruhi kebudayaan Helinesia dan Persi. Perbenturan membawa kegoncangan-kegoncangan dan kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut.
a.    Bidang bahasa Arab
         Pada masa jahiliyah, ketika bangsa Arab belum bergaul luas dengan bangsa lain. Bahasa mereka masih murni sehingga bangsawan Quraisy yang ingin anak-anaknya fasih berbahasa Arab selalu mengirimkan anak-anak mereka ke dusun namun sesudah perluasan Islam keluar Jazirah Arab dan bangsa Arab bergaul luas dengan Persi, Mesir, Syam, maka berbaurlah bahasa-bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan dalam tata bahasa.[4]
b.   Bidang Akidah
         Di luar Jazirah Arab terdapat agama-agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan lain-lain yang akidahnya jauh berbeda dengan akidah Islam. Ditambah lagi agama Nasrani sangat dipengaruhi oleh filsafat Helinesia. Bertemunya akidah Islam dengan akidah-akidah lain di luar Islam menimbulkan benturan. Ini terlihat nanti dengan munculnya aliran-aliran, antara lain aliran Mujassimah yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim seperti jisim (wujud fisik) manusia.
c.    Bidang Politik
         Politik Islam yang diajarkan Nabi adalah sistem “Musyawarah”. segala sesuatu berdasarkan musyawarah termasuk dalam pemilihan kepala negara. Di luar Jazirah Arab berlaku sistem “Monarki absolut” yaitu segala sesuatu dalam kekuasaan mutlak raja termasuk dalam penentuan calon pengganti raja. Itu menyebabkan umat Islam pecah menjadi beberapa firqah (Kelompok)[5].
         Dalam suasana yang demikian timbul suatu kelompok yang netral yang bersikap netral yang bersikap moderat dan toleran karena mempunyai tujuan untuk tetap menggalang solidaritas dan kesatuan umat. Untuk keperluan tersebut mereka meninggalkan politik dan menyibukkan diri dalam pendalaman ilmu terutama untuk mengkaji sunnah Nabi dan menggunakannya untuk memahami dan mendalami agama secara lebih luas. Di antara mereka adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Kelompok ini karena pengalamannya dalam menghadapi berbagai golongan yang mempunyai pandangan yang berbeda akhirnya tumbuh semacam Kelompok yang mau menghargai pendapat orang lain sehingga akhirnya dianggap sebagai Kelompok yang banyak dianut oleh mayoritas umat.
         Di samping itu ketekunan mereka terhadap kajian as-Sunnah menyebabkan as-Sunnah mendapat perhatian umat dan pada akhirnya menyebabkan as-Sunnah menjadi terpelihara, usaha mereka sungguh merupakan usaha yang membekas bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam pada khususnya dan agama Islam pada umumnya karena as-Sunnah merupakan sumber agama Islam yang kedua sesudah Alquran. Usaha mereka merupakan rintisan bagi kajian baru dalam sejarah pemikiran secara rasional dalam bidang as-Sunnah.[6]
 
PENUTUP
Pada waktu Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan “Kaum Jahili”. bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian lain. Hidup mereka mengikuti hawa nafsu, berpecah-pecah, saling berperang satu dengan yang lain karena sebab yang sepele, yang kuat menguasai yang lemah, wanita tidak ada harganya, berlakulah hukum rimba. Mengahadapi kenyataan itu Nabi Muhammad SAW di utus Allah dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia. Dalam masalah ilmu pengetahuan perhatian Rasul (Muhammad SAW) sangat besar, di antaranya.
a.    Wahyu pertama yang diterima Rasul berbunyi bacalah. Perintah ini pada hakikatnya adalah pencanangan dan pemberantasan buta huruf, suatu tindakan awal yang membebaskan manusia dari ketidaktahuan.
b.   Bangsa Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya. sedangkan hafalan merupakan salah satu alat untuk pengembangan ilmu.
c.    Nabi membuat tradisi baru yaitu mencatat dan menulis.
d.   Alquran merupakan sumber inti ilmu pengetahuan.

            Dengan usaha itu Rasul telah merintis peradaban Islam, dalam waktu 23 tahun Rasul telah mengubah bangsa Arab dari bangsa Jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban dengan jiwa yang Islami, bersatu, berakhlak mulia, dan berpengetahuan. Dengan bimbingan Nabi dan pengaruh Alquran telah lahir orang-orang pandai.   
Usaha pendidikan ini kemudian ditindaklanjuti oleh generasi berikutnya, pendidikan dan pengajaran terus tumbuh dan berkembang pada masa khulafaur Rasyidin.


Referensi         
Suwito, Dr. Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2005.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Kencana: Jakarta, 2003



[1] Slamet Iman Santoso, Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa, (Jakarta: CV, Haji Mas Agung, 1987), hlm, 52.
[2] Ahmad Amin, Fajr al-Islam. (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965), hlm, 141.
[3] Mustafa al-Shiba’I, Al-Sunnah w Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam, (Beirut: al-dar al-qaumiyah, 1966)
[4] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah), Jilid I, hlm 301.
[5] Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, (Kairo: Mathba’ah Ali Shahib, 1959), hlm 9.
[6] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 16.