(SUSI HANDAYANI)
A. Sekilas Tentang Daulah Abbasiyah
Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas
paman Rasulullah, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah
al-Abbas. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada
masa-masa tersebut. Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya
pada periode I (132 H/750 M-232 H/847 M), masa pengaruh Persia pertama. Para
khalifah pada masa periode itu dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan
politik, dan agama sekaligus.
Kemakmuran masyarakat pada saat itu mencapai
tingkat yang tinggi. Popularitas Daulah Abbasiyahmencapai puncaknya pada masa
khalifah Harun Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813 M-833 M).
Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Ma’mum
digunakan untuk kepentingan sosial seperti: lembaga pendidikan, kesehatan,
rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteraan
berada pada zaman keemasan. Al-ma’mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan
banyak mendirikan sekolah.
B. Metode Pendidikan/Pengajaran
Dalam
proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu
aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan
atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode
pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid
hingga murid dapat menyerap dan memahami
dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada
mada Dinasti Abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
1. Metode lisan berupa
dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi
(imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena
dengan imla ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia
lupa. Metode ceramah disebut juga metode al-Sama,
sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan,
sedangkan murid mendengarkannya. Metode qirs’ah biasanya digunakan untuk
belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
2. Metode menghafal, murid-murid
membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat
pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid
harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya.[1]
Sehingga dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali dan
mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan
perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu
yang baru.
3. Metode Tulisan adalah
pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses
intelektualisasi sehingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.
Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga
sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa
Daulah ini belum ada mesin cetak, engan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap
teks buku sedikit teratasi.[2]
C. Materi Pendidikan
Materi
pendidikan dasar pada masa Daulah Abbasiyah terlihat pada unsure demokrasinya,
di samping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pilihan (ikhtiari).
Materi
pelajaran yang bersifat wajib (ijbari)
ialah:
a.
Alquran
b.
Shalat
c.
Doa
d.
Sedikit ilmu nahwu
dan bahasa Arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa Arab belum secara
tuntas dan detail)
e.
Membaca dan menulis
Sedangkan
materi pelajaran ikhtiar (pilihan)
ialah:
a.
Berhitung
b.
Semua ilmu nahwu
dan bahasa Arab (maksudnya nahwu yang
berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari
secara tuntas dan detail)
c.
Syair-syair
d.
Riwayat/Tarikh Arab.[3]
Menurut
Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thanta,
dalam tesisnya menyebutkan ada tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada
masa Abbasiyah terutama pada abad keempat hijriyah, ketujuh lembaga pendidikan
tersebut:
a.
Lembaga pendidikan dasar (al-Khuttab)
b.
Lembaga pendidikan masjid (al-Masjid)
c.
Kedai pedagang kitab (al-Hawanit al-Warraqin)
d.
Tempat tinggal para sarjana (manazil al-ulama)
e.
Sanggar seni dan sastra (al-Shalunat al-adabiyah)
f.
Perpustakaan (dar al-Khuttub wa dar al’ilm), dan
g.
Lembaga pendidikan sekolah (al-Madrasah).[4]
Semua
instuti pendidikan ini mempunyai karakteristik tersendiri dan kajiannya
masing-masing. Dalam pembahasan tulisan ini penulis hanya membatasi pendidikan
pada tingkat dasar (al-Khuttab). Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar Kataba
yang berarti menulis jadi Kuttab
adalah tempat belajar dan menulis. Menurut Ahmad Syalabi Kuttab adalah lembaga pendidikan tingkat dasar.
Pengajaran
pada tingkat kuttab meliputi:
a)
Membaca Alquran dan menghafalkannya
b)
Pokok-pokok agam islam seperti wudhu, shalat,
puasa
c)
Menulis
d)
Kisah (riwayat) orang-orang besar
e)
Membaca dan menghafal syair-syair atau
natsar-natsar (prosa)
f)
Berhitung
g) Pokok-pokok
ilmu nahwu dan ilmu sharaf ala kadarnya
Pengajaran sepeti ini tidak dapat dijumpai di
seluruh negara Islam karena masing-masing daerah terkadang berbeda sebagaimana
pendapat Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al di Maroko (Maghribi)
hanya diajarkan Alquran dan rasm
(tulisannya). Di Andalusia diajarkan Alquran, menulis serta syair, pokok-pokok nahwu atau sharaf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Alfiqiyah)
diajarkan Alquran, Hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan
Ilmu Alquran.
Sistem pengajaran yang
dilaksanakan pada waktu itu belum secara klasikal, namun bila dikaji dengan
mendalam ternyata apa yang telah mereka lakukan dalam proses pembelajaran pada
waktu itu jauh lebih baik dari sistem pengajaran yang dilakukan sekarang ini.
Karena waktu belajar yang mereka gunakan jauh lebih efektif dan efisien dari
waktu belajar sekarang. Waktu belajar mereka dari pagi hari hingga waktu Ashar,
sedangkan waktu belajar sekarang hanya dari pagi hari sampai dengan waktu Zuhur
(untuk anak kelas 3 sampai dengan kelas 6) bagi anak kelas 1 dan kelas 2 dari
pagi sampai jam sepuluh. Jumlah hari mereka belajar dalam 1 minggu dari hari
Sabtu sampai dengan hari Kamis, sedangkan hari Jumat mereka libur, tampak waktu
belajar mereka cukup padat dan efisien. Tetapi pada umumnya anak-anak
menyelesaikan pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.
D. Metode Mengajar
Pada
masa Abbasiyah pengajaran diberikan kepada murid-murid seorang demi seorang dan
belum berkelas-kelas seperti sekarang. Jadi, guru harus mengajar muridnya
dengan berganti-ganti. Oleh karena itu, biasanya diadakan guru bantu. Pada saat
itu belum memakai bangku, meja dan papan tulis, mereka hanya memakai baju tulis
dan kertas yang bersahaja. Mereka belajar dengan duduk bersila berkeliling (berhalaqah) menghadapi guru.
Sedangkan
metode mengajar yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi juga
dengan cara halaqah. Guru duduk di
atas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi
kepada semua siswa yang hadir.
Pada
masa itu belum ada kitab-kitab yang ditetapkan mengajarkannya seperti sekarang,
karena memang pada waktu itu belum ada percetakkan modern untuk mencetak
buku-buku. Pelajaran diberikan dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang
membacanya oleh murid, atau murid menyalin dari buku yang telah ditulis dengan
tangan. Menurut sistem yang berlaku pada waktu itu mata pelajaran yang telah
dijelaskan di atas, bukan diajarkan sekaligus kepada murid-murid, melainkan
diajarkan satu per satu, misalnya:mula-mula diajarkan Alquran saja, setelah
tamat atau hafal baru diajarkan pokok-pokok nahwu/sharaf.
Kemudian diajarkan mata pelajaran lainnya, demikian seterusnya.[5]
Di
samping itu para guru diharuskan mengajarkan qir’at yang bagus yaitu qira’at
Nafi’ namun demikian tidak apa-apa bila ia menggunakan qira’at yang lain karena seluruh ahli qi’rat adalah sahabat Nabi.
Guru
diharuskan mengajarkan cara berwudhu, cara shalat, hitungan rukuk, sujud dan
bacaan-bacaannya, takbir dan cara-cara duduk serta salam, karena shalat
merupakan rukun dan tiang agama. Guru juga diharuskan mengajarkan secara detail
mengenai shalat-shalat Sunnah, shalat jenazah, dan doa-doa. Siswa tidak hanya
mempelajari teori saja tetapi juga harus mempraktikannya.
Adapun
materi pendidikan yang bersifat ikhtiar atau pilihan meliputi:
· Berhitung
· Syair-syair
· Khat
atau tulisan indah
· Semua nahwu dan sharaf
Pelajaran-pelajaran
ini tetap dibebaskan atau merupakan pilihan, selama ahli atau keluarganya tidak
mensyaratkannya.
Materi
pendidikan dasar di atas selaras dengan falsafah masyarakat yang hidup di
dalamnya dan bertujuan untuk mewujudkannya:
a.
Persiapan untuk kehidupan di akhira, dengan cara
mendidik anak-anak menaati perintah Allah SWT, dan menjauhi segala
larangan-Nya, serta senantiasa bersyukur kepada-Nya.
b.
Memungkinan anak untuk mengetahui
kelompok-kelompok ilmu dan keahlian-keahlian yang akan membantu mereka mencapai
keberhasilan dalam hidup dan bermanfaat bagi masyarakat.
Referensi
Suwito, Dr.
Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
[1] George Maksidi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West,
(Edinburg: Edinburg University Press, 1981), Hlm 104.
[2]
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1419
H/1999 M), cet. ke-1, hlm. 77-79.
[3] Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/1990
M), Cet. ke-6, hlm 50.
[4]
Hasan ‘Abd Abd al-‘AL, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’
al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th), hlm 181-219.
[5] Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/1990 M), Cet. ke-6, hlm 51-52.