Rabu, 28 November 2012

KONSEPSI DASAR ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


(Susi Handayani)
Ilmu pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai filosofis ajaran islam berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain ilmu pendidikan islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan islam.

Selain itu Ilmu Pendidikan Islam tidak memiliki karakter yang sekuler sebagaimana yang terdapat dalam budaya barat. kata “Islam” yang berada dibelakang Ilmu “Pendidikan” selain menjadi sumber motivasi, inspirasi, sublimasi, dan integrasi bagi pengembangan Ilmu Pendidikan, juga sekaligus menjadi karakter dari Ilmu Pendidikan Islam itu sendiri. Islam yang menjadi karakter Ilmu Pendidikan ini memberikan prinsip tentang keharusan berserah diri dan mengikuti perintah serta aturan Tuhan jika ingin sukses (QS Yunus, [10]: 72 dan 84; Al-Baqarah [2]: 128,132 ; Al-Maidah  [5]:44; Yusuf [12]: 101, Al-A’raf [46]: 15). Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan akhirat (Al Baqarah [2]:201); menyandangkan ilmu dan agama (QS Al-Mujadilah [58]: 11), memadukan akal, hati, dan perasaan (QS Al- Nahl [16]: 78) dan nilai-nilai moral Islam lainnya.

Ilmu pendidikan Islam yang berkarakter adalah Ilmu Pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam alquran dan Sunnah. Karakter ajaran islam yang selanjutnya menjadi karakter Ilmu Pendidikan Islam tersebut menjadi pembeda antara Ilmu Pendidikan yang berasal dari barat dengan ilmu pendidikan Islam. Sebagian orang berkata bahwa ilmu pendidikan itu netral dan tidak ada hubungannya dengan agama, dengan alasan jika ada ilmu pendidikan islam, maka ada ilmu pendidikan Kristen, hindu, budha dan sebagainya. Pendapat yang demikian itu menggambarkan tentang ketidaktahuannya tentang urusan agama dan dunia.

Dalam Islam agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Dengan karakternya yang demikian itu, maka Pendidikan Islam tidak mendikotomikan agama dan ilmu. Dalam islam agama menetapkan tujuan yang harus dicapai manusia, sedangkan ilmu membantu mempercepat sampainya pada tujuan tersebut. Seseorang yang ingin melaksanakan ajaran agama dalam bentuk menunaikan ibadah haji, misalnya, ia membutuhkan produk ilmu dan teknologi berupa pesawat udara. Islam juga memandang bahwa manusia adalah makhluk yang disamping memiliki keunggulan dan keistimewaan, juga memiliki keterbatasan. Fisik, akal, perasaan, dan potensi lainnya yang dimiliki manusia serba terbatas. Untuk itulah agama datang melengkapi, menolong, menyempurnakan pengetahuan yang terbatas itu. Ilmu yang bersumber pada rasio memerlukan agama yang berasal dari Tuhan. Ilmu yang kebenarannya relatif harus tunduk kepada agama yang kebenarannya mutlak. Ilmu yang hanya berbicara hal-hal yang bersifat empiris perlu disempurnakan dengan agama yang berbicara tentang yang ghaib.  

Berdasarkan analisis tersebut di atas, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa di dalam Alquran terdapat seluruh ilmu pengetahuan, karena walaupun pernyataan tersebut secara lahiriah ingin mengagungkan Alquran, tetapi sebaliknya pernyataan tersebut dapat menjatuhkan kedudukan Alquran. Ilmu pengetahuan kebenarannya relatif, bisa salah dan suatu saat tidak diperlukan lagi. Jika di dalam Alquran terdapat seluruh ilmu pengetahuan, boleh jadi akan ada ayat-ayat Alquran yang relatif kebenarannya sehingga bisa dibatalkan. Keadaan ini tidak boleh terjadi.

Menghubungkan Islam (Alquran) dengan Ilmu pengetahuan, termasuk dengan Ilmu Pendidikan, bukan dengan melihat, misalnya adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; adakah ilmu komputer tercantum dalam Alquran dan sebagainya; tetapi yang lebih diutamakan oleh Alquran adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, Alquran meletakkan ilmu pengetahuan pada sisi social psychology (psikologi sosial)-nya, dan bukan pada sisi history of scientific progress (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan)nya.

Selanjutnya perlu ditambahkan, bahwa sekalipun terdapat kata Islam dalam Ilmu Pendidikan Islam, namun dalam Ilmu Pendidikan Islam bukanlah Alquran atau setara dengan Alquran. Bagaimanapun hebatnya, Ilmu Pendidikan Islam adalah sebagai sebuah hasil Ijtihad yang tidak luput dari kesalahan. Namun demikian, ilmu pendidikan Islam bukan pula ilmu yang liberal atau bebas nilai. Ilmu Pendidikan Islam adalah hasil ijtihad yang dibimbing oleh ajaran Islam yang bersumber pada Alquran dan al-Sunnah. Bimbingan tersebut antara lain terlihat pada adanya nilai-nilai ajaran Alquran sebagaimana tersebut di atas yang menjadi prinsip pengembangan ilmu pendidikan Islam tersebut, dan sekaligus menjadi karakternya. Dengan demikian Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang dihasilkan melalui ijtihad yang terbimbing oleh nilai-nilai ajaran Alquran dan al-Sunnah dan bukan ilmu pendidikan Barat yang didasarkan pada hasil ijtihad manusia semata-mata.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diperoleh pengertian bahwa Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang membahas berbagai teori, konsep, dan desain tentang berbagai aspek atau komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan sebagainya yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana terdapat di dalam Alquran dan al-Sunnah. Kata Islam yang berada di belakang kata ”Ilmu Pendidikan,” selain berfungsi sebagai sumber informasi, motivasi, dan tujuan, juga menjadi karakter Ilmu Pendidikan Islam, yang selanjutnya membedakan dirinya dengan Ilmu Pendidikan yang berasal dari Barat. Dengan karakternya yang demikian itu, Ilmu Pendidikan Islam, bukan ilmu yang bersifat ekslusif dan statis, melainkan ilmu yang terbuka, menerima berbagai pengaruh dari luar, dan terus mengalami perkembangan sepanjang pengaruh tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.   

Referensi
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Rajawali Pers: Jakarta, 2009.

Selasa, 27 November 2012

Lembaga Pendidikan Dalam Islam Beserta Sejarahnya


(Susi Handayani)

A.      PENDAHULUAN
Pendidikan islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah mereka membangun masjid. Masjid difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Masjid merupakan lembaga pendidikan islam yang pertama muncul di samping rumah tempat kediaman ulama atau mubaligh. Setelah itu muncullah lembaga-lembaga pendidikan islam lainnya seperti pesantren (Jawa), dayah (Aceh), surau(Sumatera Barat). Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi pada hakikatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan agama. Perbedaan nama adalah dipengaruhi oleh perbedaan tempat.
Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Pendidikan Islam yang sedeikian rupa amat kontras dengan pendidikan barat yang di bangun oleh pemerintah kolonial belanda yang mulai berdiri di Indonesia pada abad ketujuh belas. Pendidikan kolonial ini bersifat sekuler, tidak mengajarkan sama sekali ilmu agama di sekolah-sekolah pemerintah. Sama halnya dengan pendidikan Islam di kala itu tidak mengajarkan sama sekali ilmu-ilmu umum. Kenyataan ini membuat terpolanya pendidikan di Indonesia pada ketika ini dengan dua sistem yang paling kontras tersebut.   
               Dalam pembahasan sejarah pendidikan Islam di Indonesia akan ditemukan berbagai perkembagan di sekitar pendidikan Islam. Untuk mengetahui lebih jelas akan dipaparkan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, peran pendidikan Islam di Indonesia dan Lembaga-lembaga pendidikan  Islam di Indonesia.
B.      PEMBAHASAN
1.   Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
Masuknya Islam ke Indonesia agak unik bila dibandingkan dengan masuknya Islam ke daerah-daerah lain. Keunikannya terlihat kepada proses masuknya Islam ke Indonesia secara relatif berbeda dengan daerah lain. Islam masuk ke Indonesia secara damai dibawa oleh para pedagang dan mubaligh. Sedangkan Islam yang masuk ke daerah lain pada umumnya banyak lewat penaklukan, seperti masuknya Islam ke Irak, Iran (Parsi), Mesir, Afrika Utara sampai ke Andalusia.
Terdapat beberapa teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia, terutama berkenaan dengan waktu datangnya, negri asalnya, dan pembawanya. Sarjana Belanda kebanyakan berpendapat bahwa kedatangan Islam ke Nusantara berasal dari India.
Selain dari “Teori India” berkembang juga “Teori Arab” yang berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab. Teori ini juga di dukung oleh sejumlah sarjana di antaranya Crawfurd, Niemann dn yang paling gigih mempertahankannya adalah Naquib Al Attas (Azra, 1994: 27-28).
Menurut beberapa sumber sejarah dijelaskan selat malaka sebagai rute perdagangan yang telah lama dikenal, sebagai salaha satu jalur perdagangan dari dunia Timur ke Barat di samping jalan darat. Penjelasan ini dapat dilihat dalam tulisan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang dikutip dari tulisan W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya compiled from Chinese Sources.
Pada sekitar abad ke-7 dan 8, pada saat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaanny, Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad-abad tersebut diduga bahwa masyarakat muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di Sumatera (Poesponegoro, 1984,1).
Sejalan dengan penjelasan di atas bahwa di Medan pada tahun 1963, dan di Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980, telah dilaksanakan seminar tentang masukya Islam di Indonesia. Kedua seminar tersebut sepakat bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriah langsung dari Arab. Daerah yang mula-mula dimasuki oleh Islam adalah daerah pesisir Sumatera, sedangkan kerajaan Islam pertama yang berdiri adalah di Aceh.
Kedatangan Islam ke belahan Indonesia bagian Timur ke Maluku juga tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perdagangan, yang diperkirakan Islam masuk ke daerah ini pada abad keempat belas Masehi.
Di Kalimantan khususnya di daerah Banjarmasin proses Islamisasi di daerah ini terjadi kira-kira tahun 1550. Adapun di Sulawesi terutama di bagian sekatan telah didatangi oleh pedagang muslim pada abad ke-15 M.
Suatu hal yang dapat dikemukakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia tidak bersamaan, ada daerah-daerah yang telah dimasuki Islam, di samping ada daerah yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bersama oleh sejarawan Islam bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di Sumatera sedangkan Islam masuk ke Jawa waktunya diduga kuat berdasarkan batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) tahun 475 H( 1082 M).
Terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat adalah melalui proses yang panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil dari upaya para da’i. masyarakt muslim tersebut selanjutnya menumbuhkan kerajaan Islam, tercatatlah sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kerajaan Perlak, Pasai, Aceh Darussalam, Banten, Demak, Mataram dan lain sebagainya. Tumbuhnya pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara jelas sangat berpengaruh sekali bagi proses Islamisasi di Indonesia. Kekuatan politik digabungkan dengan semangat para mubaligh untuk mengajarkan Islam merupakan dua sayap kembar yang mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di Indonesia.

2.   Peranan Pendidikan Islam
Ada beberapa saluran proses islamisasi di Indonesia yaitu perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. Namun dalam hal ini, akan membahas dalam peranan pendidikannya.
Berbicara tentang pendidikan tentu sebaiknya dimulai dari membicarakan apa sebetulnya esensi pendidikan tersebut. Di pandang dari sudut definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan, dapat disimpulkan bahwa hakikat pendidikan itu adalah proses pembentukan manusiake arah yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan islam merupakan proses pembentukan manusia sesuai dengan tuntunan Islam.
Dalam teori pendidikan dikemukakan paling tidak ada tiga hal yang ditransferkan dari si pendidik kepada si terdidik, yaitu transfer ilmu, transfer nilai, dan transfer perbuatan. Di dalam proses pentransferan inilah berlangsungnya pendidikan.
Disebabkan itulah proses pendidikan itu bisa berlangsung secara formal, nonformal, dan informal. Bila pendidikan itu diatur, dilaksanakan dengan peraturan-peraturan yang ketat seperti lamanya belajar, mata pelajaran, waktu, tingkatan, umur, pendidik, sertifikat, dan lain sebaginya hal yang seperti ini dapatlah disebutkan sebagai pendidikan nonformal. Selain itu proses pendidikan yang tidak diatur sedemikian rincinya, seperti disebutkan terdahulu, hal ini dapat disebut sebagai pendidikan nonformal. Lalu ada pula jenis pendidikan yang lebih memberikan kepada proses pergaulan yang mendalam yang bersifat mempribadi antara si pendidik dengan si terdidik, seperti hubungan orang tua dengan anaknya di rumah. Pada saat tertentu si orang tua, tanpa sengaja dan dirancang menumbuhkan nilai-nilai (Values) kepada anaknya, hal yang seperti ini digolongkan kepada pendidikan informal.
Berdasarkan ungkapan di atas, dapat dimaklumi betapa luasnya ruang lingkup pendidikan, sehingga setiap perbuatan yang pada intinya pentransferan ilmu, nilai aktifitas, dan keterampilan dapat disebut dengan pendidikan. Karena itu dapat dipastikan pendidikan islam telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keislaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktivitas maupun dalam pembentukan sikap. Pendidikan islam di Indonesia ini telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia, oleh karena itu pendidikan Islam di Indonesia telah memainkan peranannya dalam proses islamisasi di Indonesia. 
Peranan kerajaan-kerajaan Islam dalam mendorong berkembangnya pemikiran Islam dapat diambil sampelnya kerajaan Islam di Sumatera, yaitu Aceh dan kerajaan Islam di Jawa yaitu Mataram.
Peranan kerajaan Islam di Aceh dalam bidang pendidikan dapat dilihat dalam tulisan Hasjmy “Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah”. Beliau mengemukakan di antara lembaga-lembaga Negara yang tersebar dalam Qanun Meukuta Alam ada tiga lembaga yang bidang tugasnya meliputi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) balai setia hukuma, (2) balai setia Ulama, (3) balai jamaah himpunan ulama.
Kerajaan-kerajaan Islam lainnya, yang juga banyak menaruh perhatian terhadap pendidikan Islam, adalah Mataram. Pada zaman pemerintahan Sultan Agung, kehidupan keagamaan mengalami kemajuan pesat, upaya-upaya Sultan Agung memajukan agama sukup baik, hal ini dpat dilihat drai usaha memakmurkan masjid, yaitu dengan cara mendirikan masjid raya (Masjid agung) di setiap kabupaten. Kemudian, dalam bidang kebudayaan upaya yang dilakkan oleh Sultan Agung adalah mensenyawakan unsur-unsur budaya lama dengan Islam. Selanjutnya dalam bidang pendidikan Islam, perhatian Sultan Agung cukup besar. Pada zaman itu telah dibagi tingkatan-tingkatan pesantren, yaitu:
·     Tingkatan pengajian Alquran
·     Tingkatan pengajian kitab
·     Tingakatan pesantren besar
·     Pondok pesantren tingkat keahlian (takhassus)

3.   Lembaga-lembaga Pendidikan Islam
Pada tahap pendidikan Islam berlangsung secara informal. Para mubaligh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehari-hari. Para mubaligh itu menunjukkan akhlakul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama Islam dan mencontoh perilaku mereka.
Lewat pergaulan antar para mubaligh dengan masyarakt sekitar dan juga kadang lewat perkawinan antara pedagang muslim atau mubaligh dengan masyarakat sekitar terbentuklah masyarakat muslim. Masyarakat muslim inilah merupakan cikal bakal tumbuh dan berkembangnya kerajaan Islam. Setelah masyarakat muslim di suatu daerah terbentuk, maka yang menjadi perhatian mereka untuk pertama sekali adalah mendirikan rumah Ibadat ( masjid, langgar, atau musholah).
 Di dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi Muhammad telah difungsikan rumah ibadah tersebut sebagai tempat pendidikan. Rasul menjadikan Masjid Nabawi untuk berlangsungnya proses pendidikan di dalamnya. Perbuatan beliau itu ditiru oleh khalifah-khalifah sesudah beliau, baik hanya khulafaur Rasyidin maupun khalifah-khalifah Bani Umaiyyah, Abbasyiah, Fathimiyah, Usmaniah, dan lain sebagainya. Dengan demikian masjid berfungsi sebagai tempat pendidikan merupakan suatu keharusan di kalangan masyarakat muslim.
Tentu saja setelah terbentuknya masyarakat muslim pada daerah tertentu di Indonesia, dapat dipastikan bahwa mereka membangun masjid, dan dengan adanya masjid tersebut dapat dipastikan bahwa mereka menggunakannya untuk melaksanakan proses pendidikan Islam di dalamnya, dan sejak saat itu pula mulai berlangsugnya pendidikan nonformal.
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai Nilai.
Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan Islam sebagai lembaga adalah diakuinya keberadaan pendidikan Islam sebagai lembaga formal, nonformal, dan informal.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 Tahun 1898) yang kemudian dilengkapi dengan beberapa peraturan pemerintah, dan diperkuat pula dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas bahwa pendidikan di Indonesia telah diatur oleh satu peraturan yang telh disepakati.
Pendidikan Islam yang dimaknai sebagai mata pelajaran dan lembaga telah mendapat kedudukan dalam sistem pendidikan nasional. Bab-bab dan pasal-pasal yang tercantum dalam PP 28, 29 Tahun 1990, serta PP 72, 73 Tahun 1991, PP 38, 39 Tahun 1992, PP 60 Tahun1991, PP Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 12, 17, 18, 20, 26, 27, 28, dan Pasal 30 telah menggambarkan betapa pendidikan Islam telah duduk dalam sistem pendidikan nasional, dengan demikian kedudukannya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari sitem pendidikan nasional.
Ada beberapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
a.        Masjid dan langgar
Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat lima waktu, shlat jum’at dan dua kali setahun dilaksanakan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha sedangkan langgar, bentuknya lebih kecil dari masjid dan digunakan hanya untuk tempat shalat lima waktu. Selain itu masjid dan langgar difungsikan untuk tempat pendidikan. Di tempat ini dilakukan pendidikan untuk orang dewasa maupun anak-anak.
b.       Pesantren
Pesantren berasal dari kata “Santri”, dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berari tempat tinggal santri (Dhofier, 1984:18). Pesantren berkembang dari bentuk tradisional (salafi) berkembang kepada pesantren modern (khalafi), sehingga pesantren bentuk kedua ini sekarang berkembang hampir di seluruh Indonesia. Kemodernan dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, mata pelajaran telah seimbang antara materi ilmu-ilmu agama dengan materi ilmu-ilmu umum. Kedua, metode pengajaran telah bervariasi, tidak lagi semata-mata hanya memakai metode sorogan, wetonan, dan hafalan. Ketiga, dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan.
Dengan demikian, inti pokok dari suatu pesantren adalah pusat pengkajian ilmu-ilmu keagamaan Islam, seperti fikih, tauhid, tafsir, bahasa Arab, dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan itu terbatas dalam ruang lingkup ilmu-ilmu agama, sebagai perbedaan dengan ilmu-ilmu yang digolongkan kepada ilmu-ilmu umum.
c.        Sekolah
WJS. Perwadarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menerangkan arti sekolah di antaranya: (a) bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran, (b) waktu atau pertemuan ketika murid-murid diberi pelajaran, (c) usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan). Sekolah menitikberatkan kepada pendidikan formal karena di sekolah prosedur pendidikan telah diatur sedemikian rupa. Sekolah merupakan jembatan bagi anak untuk menghubungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan masyarakat.
Sekolah pada zaman kolonial Belanda di lembaga ini tidak di didik mata pelajaran agama, setelah Indonesia merdeka diaturlah kerja sama antara Departemen Agama dengan Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (sekarang bernama Departemen Pendidikan Nasional) untuk memasukakan mata pelajaran ke sekolah-sekolah mulai tingkat sekolah dasar samapi perguruan tinggi. Pada tahap awal pendidikan agama di sekolah tersebut terkesan seolah-olah kurang penting. Namun, setelah dikeluarkan Tap MPRS Tahun 1966 No XXVII/MPRS/1966 dan setelah diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 Dan Peraturan Pemerintah No. 28  dan 29, tahun 1990, begitu juga lebih dipertegas dan diperkuat lagi kedudukan pendidikan agama itu pada Undang-Undang dan peraturan tersebut menggambarkan betapa pendidikan agama di sekolah memiliki kedudukan yang amat penting.
d.       Madrasah
Madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah tempat belajar (Ibrahim Anis, 1972:280). Madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam. Madrasa pada prinsipnya adalah kelanjutan dari sistem pesantren.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh setelah masjid. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuhnya madrasah adalah kerna masjid-masjid telah penuh dengan tempat-tempat belajar dan hal ini mengganggu aktivitas pelaksanaan ibadah shalat. Selain itu pengetahuan pun telah banyak berkembang disebabkan perubahan zaman dan kemajuan peradaban manusia.
Selain keempat lembaga tersebut masih ada lembaga-lembaga pendidikan Islam yaitu sekolah-sekolah Dinas, Pendidikan Tinggi Islam, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), Pendidikan Islam Nonformal.

C.       PENUTUP
Dari pemaparan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya masuknya Islam ke Indonesia tidak bersamaan, ada daerah-daerah yang telah dimasuki Islam, di samping ada daerah yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini telah disepakati bersama oleh sejarawan Islam bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia adalah di Sumatera sedangkan Islam masuk ke Jawa waktunya diduga kuat berdasarkan batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) tahun 475 H( 1082 M). lalu terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat adalah melalui proses yang panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil dari upaya para da’i. masyarakt muslim tersebut.
Pendidikan islam telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keislaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktivitas maupun dalam pembentukan sikap. Pendidikan islam di Indonesia ini telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia, oleh karena itu pendidikan Islam di Indonesia telah memainkan peranannya dalam proses islamisasi di Indonesia. Selain itu, Pendidikan Islam sebagai lembaga adalah diakuinya keberadaan pendidikan Islam sebagai lembaga formal, nonformal, dan informal.

Referensi
Putra Daulay, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta, 2007.

Tujuan Pendidikan Islam


(Susi Handayani)

Ilmu pendidikan Islam,baik secara teori maupun praktik, berusaha merealisasikan misi ajaran Islam ke dalam jiwa umat manusia, mendorong penganutnya untuk mewujudkan nilai-nilai Alquran dan Al-Sunnah, mendorong pemeluknya untuk menciptakan pola kemajuan hidup yang dapat menyejahterakan pribadi dan masyarakat, meningkatkan derajat dan martabat manusia, dan seterusnya.[1]
Ilmu pendidikan Islam bertujuan memberikan penjelasan teoritis tentang tujuan pendidikan yang harus dicapai, landasan teori, cara, metode dalam mendidik, dan seterusnya.[2]
Tujuan Ilmu Pendidikan Islam lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, melakukan pembuktian terhadap teori-teori kependidikan Islam yang merangkum aspirasi atau cita-cita islam yang harus diikhtiarkan agar menjadi kenyataan.
Kedua, memberikan bahan-bahan informasi tentang pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pendidikan islam tersebut. Ia memberikan bahan masukan yang berharga kepada ilmu ini.
Ketiga, menjadi korektor terhadap kekurangan teori-teori yang dipegangi oleh ilmu pendidikan Islam sehingga antara teori dan praktik semakin dekat dan hubungan antara keduanya bersifat interaktif (saling memengaruhi).[3]
Melalui berbagai pendapat tersebut di atas, diketahui dengan jelas bahwa Ilmu pendidikan Islam memiliki tujuan yang mendasar dan strategis. Dikatakan mendasar karena melalui ilmu pendidikan Islam dapat ditemukan teori, konsep, dan prinsip-prinsip yang dapat digunakan yang dapat digunakan dalam merumuskan berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar-mengajar dan seterusnya.
Kemudian dikatakan strategis karena dengan ilmu pendidikan Islam, proses pendidikan akan berjalan secara sistematis dan efektif dalam rangka menghasilkan lulusan pendidikan yang bermutu dalam segala aspeknya: pengetahuan, wawasan, keterampilan, mental spiritual, akhlak, dan kepribadiannya. Keterbelakangan pendidikan Islam yang umumnya terjadi saat ini, antara lain karena kegiatan pendidikan yang umumnya berlangsung di masyarakat masih dilaksanakan secara konvensional, hanya bermodalkan niat dan semangat, tetapi tidak didukung dengan teori dan konsep yang mapan dan telah terbukti efektivitasnya. 
    
Referensi
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Rajawali Pers: Jakarta, 2009.


[1]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1, hlm.3-4.
[2]Ahamd Tafsir, Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (Pandangan Empiric), dalam ahmad tafsir (ed.), epistemologi untuk ilmu pendidikan islam, (Bandung: Fakulatas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), hlm. 7.
[3] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. 1, hlm. 14.

Minggu, 18 November 2012

Evaluasi Pendidikan Islam


Evaluasi Pendidikan Islam
(Tika)

Rangkaian akhir dari komponen dalam suatu sistem pendidikan yang penting, adalah penilaian (evaluasi). Dalam bahasa Arab, dijumpai istilah imtihân, yang berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya. Jadi dengan evaluasi diperoleh informasi dan kesimpulan tentang keberhasilan suatu kegiatan, dan kemudian kita dapat menentukan alternatif dan keputusan untuk tindakan berikutnya. Selanjutnya, Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual religius, karena manusia bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya, dalam hal ini tentunya yang menjadi tolak ukur adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam pendidikan Isalam evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (aspek afektif) ketimbang pengetahuan (aspek kognitif), baik itu sikap pengabdian kepada Allah Swt., kepada lingkungannya, kepada sesama manusia, maupun terhadap alam sekitarnya. Program evaluasi ini juga diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas dan sebagainya.
Sebelum melakukan kegiatan evaluasi tentu saja pertama kita harus mengetahui tujuan dari evaluasi itu sendiri, adapun tujuan evaluasi pendidikan Islam adalah.
1.     Mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan perilakunya.
2.     Mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.
3.     Mengumpulkan informasi yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pengecekan yang sistematis terhadap hasil pendidikan yang telah dicapai untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan, fungsi dan kegunaan seorang pendidik melakukan evaluasi di sekolah adalah.
1.     Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang di kelasnya.
2.     Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki peserta didik atau belum
3.     Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
4.     Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mengalami pendidikan dan pengajaran.
5.     Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai penyesuaian dalam kls.
6.     Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk raport, ijazah, piagam dan sebagainya.

b.   Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, diantaranya.
1.     Dari segi pendidik, yaitu untuk  membantu seorang pendidik mengetahui sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya
2.     Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
3.     Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, untuk membantu para pemikir pendidikan Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
4.     Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam, untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akn diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam).

Jenis-jenis Evaluasi
Jenis-jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah:
1.     Evaluasi Formatif, yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik setelah menyelesaikan satuan program pembelajaran (kompetensi dasar) pada mata pelajaran tertentu. Jenis ini diterapkan berdasarkan asumsi bahwa manusia memiliki banyak kelemahan seperti tercantum dalam Q.S. An-Nisa: 28
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.
Dan pada mulanya tidak mengetahui apa-apa, tercantum dalam Q.S. An-Nahl: 78, sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu tidak dibiasakan.
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Untuk itu Allah Swt menganjurkan agar manusia berkonsentrasi pada suatu informasi yang didalami sampai tuntas, mulai proses pencarian, (belajar mengajar) sampai pada tahap pengevaluasian. Setelah informasi itu dikuasai dengan sempurna, ia dapat beralih pada informasi yang lain, tercantum dalam QS. Al-Insyirah: 7-8: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
a.      Fungsi, yaitu untuk memperbaiki proses pembelajaran ke arah yang lebih baik dan efisien atau memperbaiki satuan/rencana pembelajaran.
b.     Tujuan, yaitu untuk mengetahui penguasaan peserta didik tentang materi yang diajarkan dalam satu satuan/rencana pembelajaran.
c.      Aspek yang dinilai, terletak pada penilaian normatif yaitu hasil kemajuan belajar peserta didik yang meliputi: pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap materi ajar PAI yang disajikan.
d.     Waktu pelaksanaan : akhir kegiatan pembelajaran dalam satu satuan/rencana pembelajaran.
2.     Evaluasi Sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu semester dan akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya, seperti tercantum dalam QS. Al-Insyiqaq: 19
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
QS. Al-Qamar: 49  “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
a.      Fungsi, yaitu untuk mengetahui angka atau nilai peserta didik setelah mengikuti program pembelajaran dalam satu catur wulan, semester atau akhir tahun.
b.     Tujuan, untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti program pembelajaran dalam satu catur wulan, semester atau akhir tahunpada setiap mata pelajaran (PAI) pada satu satuan pendidikan tertentu.
c.      Aspek-aspek yang dinilai, yaitu kemajuan hasil belajar meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan penguasaan peserta didik tentang mata pelajaran yang diberikan.
d.     Waktu pelaksanaan, yaitu setelah selesai mengikuti program pembelajaran selama satu catur wulan, semester atau akhir tahun pembelajaran pada setiap mata pelajaran (PAI) pada satu tingkat satuan pendidikan.
3.     Evaluasi penempatan (placement), yaitu evaluasi tentang  peserta didik untuk kepentingan penempatan di dalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik.
a.      Fungsi, yaitu untuk mengetahui keadaan peserta didik termasuk keadaan seluruh pribadinya, sehingga peserta didik tersebut dapat ditempatkan pada posisi sesuai dengan potensi dan kapasitas dirinya.
b.     Tujuan, yaitu untuk menempatkan peserta didik pada tempat yang sebenarnya, berdasarkan bakat, minat, kemampuan, kesanggupan, serta keadaan diri peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami hambatan yang berarti dalam mengikuti pelajaran atau setiap program bahan yang disajikan guru.
c.      Aspek-aspek yang dinilai, meliputi keadaan fisik, bakat, kemampuan, pengetahuan, pengalaman keterampilan, sikap dan aspek lain yang dianggap perlu bagi kepentingan pendidikan peserta didik selanjutnya.
d.     Waktu pelaksanaan, sebaiknya dilaksanakan sebelum peserta didik menempati/menduduki kelas tertentu, bisa sewaktu penerimaan murid baru atau setelah naik kelas.
4.     Evaluasi Diagnostik, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan belajar peserta didik, baik merupakan kesulitan-kesulitan maupun hambatan-hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar.
a.      Fungsi, yaitu untuk mengetahui masalah-masalah yang diderita atau mengganggu peserta didik, sehingga peserta didik mengalani kesulitan, hambatan atau gangguan ketika mengikuti program pembelajaran dalam satu mata pelajaran tertentu (PAI). Sehingga kesulitan peserta didik tersebut dapat diusahakan pemecahannya.
b.     Tujuan, yaitu untuk membantu kesulitan atau mengetahui hambatan yang dialami peserta didik waktu mengikuti kegiatan pembelajaran pada satu mata pelajaran tertentu (PAI) atau keseluruhan program pembelajaran.
c.      Aspek-aspek yang dinilai, meliputi hasil belajar, latar belakang kehidupannya, serta semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran.
d.     Waktu pelaksanaan, disesuaikan dengan keperluan pembinaan dari suatu lembaga pendidikan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan para peserta didiknya.


Prinsip Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip antara lain:
1.     Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil (Q.S. 46 : 13-14).
2.     Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab (Q.S. 99 : 7-8).
3.   Prinsip Objektivitas
Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.
Allah SWT memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (Q.S. : 8), Nabi SAW pernah bersabda :
 “Andai kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-segan untuk memotong kedua tangannya”.
Demikian pula halnya dengan Umar bin Khottob yang mencambuk anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat ditetapkan bila penyelenggarakan pendidikan mempunyai sifat sidiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.


Referensi
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Dr. Jalaludin & Drs. Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1994.