Minggu, 02 Desember 2012

Sejarah Singkat Pendidikan Islam dan Lembaga Pendidikan Islam

       (TIKA)
Pendidikan Islam mencapai puncak kejayaan pada masa dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al Rasyid (170-193 H). Karena beliau adalah ahli ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan serta didukung negara dalam kondisi aman, tenang dan dalam masa pembangunan sehingga dunia Islam pada saat itu diwarnai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pendidikan pada masa ini memiliki tujuan keagamaan dan ahlak, tujuan kemasyarakatan, cinta ilmu pengetahuan dan tujuan kebendaan.
Pada masa kejayaan ini ditandai dengan berkembangnya berbagai lembaga pendidikan, baik formal yaitu berupa madrasah (sekolah) dan nonformal yang berupa kutab, pendidikan di istana, toko-toko buku, rumah-rumah ulama, majelis kesusasteraan, badiah, rumah sakit, perpustakan, dan ribath.
Keadaan demikian berlangsung, sampai suatu saat terjadi kemunduran kaum muslimin setelah jatuhnya kota Baghdad yang diserang oleh Tar-Tar (Hulako) tahun 658 H. Hulako memerintahkan supaya khalifah Abbasiyah, ulama-ulama, dan pembesar-pembesar di bunuh. Oleh tentara Hulako diadakan pembunuhan besar-besaran selama 40 hari lamanya. Keluarga khalifah, ulama, dan pembesar-pembesar habis terbunuh, yang tertinggal hanya anak-anak bayi yang dijadikan tawanan dan budak dan orang-orang yang dapat melarikan diri. Kitab-kitab dan buku-buku dalam perpustakaan dibakar habis dan kulitnya dijadikan sepatu tentara. Dengan demikian, berakhirlah sejarah khalifah di kota Baghdad, sehingga kota itu menjadi sunyi senyap, tidak ubahnya seperti negeri yang dikalahkan garuda dan merupakan masa semakin memudarnya mercusuar kebudayaan Islam.
Menurut ensiklopedia Indonesia, lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil pendidikan yang diinginkan. Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-alat pendidikan, jadi badan/ lembaga pendidikan yaitu organisasi atau kelompok manusia yang karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar. Secara terminologi lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga pendidikan itu mengandung konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma- norma dan peraturan- peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
Jadi, Lembaga pendidikan Islam merupakan institusi, badan, yayasan yang dibentuk untuk keperluan pendidikan dan sarana untuk menenamkan nilai-nilai agama Islam.
Adapun Lembaga Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.     Shuffah.
Pada masa Rasulullah Saw. Shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Di sini para siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hokum islam di bawah bimbingan langsung dari Nabi. Pada masa itu setidaknya sudah adas embilan shuffah yang tersebar di kota Madinah. Salah ssatunya berlokasi di samping Masjid Nabawi. Rasulullah Saw. Mengangkat Ubaid ibn Al- Samit sebagai guru pada sekolah shuffah di Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
2.     Kuttab/Maktab
Kuttab/Maktab berasar dari kata kata dasar yang sama, yaitu ketaba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab/maktab berarti tempat di mana dilangsungkan kegiatan tulis-menulis. Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama, dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar. Nmaun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern.
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum di samping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya Helenisme sehingga membawa perubahan, yang tadinya kuttab adalah lembaga pendidikan tertutup sekarang menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai waktu belajar di kuttab, Mahmud Yaunus menyebutkan dimulai hari Sabtu pagi hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut:
1          1.     Alquran                       : Pagi s.d. Dhuha
               2         Menulis                       : Dhuha s.d. Zuhur
3           3.  Gramatikal Arab, Matematika, sejarah         : Ba’da Zuhur s.d. Siang

3.     Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai menerangkan , membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini  dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini Halaqah dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.
4.     Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pengajaran, sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafi’i. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya.
5.     Masjid
Sejak berdirinya di zaman Nabi Saw. Masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi sebagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi.  Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. Perkembangan masji sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini yang menyebabkan karakteristik mesjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat jumat atau jami’ dan masjid biasa. Pad abad ke-11 M, di Baghdad hanya ada 6 jami’, sedangkan masjid  jumlahnya mencapai ratusan. Demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami’ daripada masjid. Namun, di Cairo jumlah jami’ cukup banyak.
Ada perbedaan penting antara jami’ dengan masjid. Jami’ dikelola dan di bawah otoritas penguasa atau khalifah. Sementara masjid tidak berhubungan dengan kekuasaan. Namun demikian, baik jami’ maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat college.
Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah utnk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qodhi, khotib, dan imam masjid. Melihat keterkaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal.
6.     Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak took, seperti khan al- Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hokum Islam di suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam Suraij. Di samping fungsi di atas khan juga digunakan sebagai sarana untuk privat.
7.     Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadaha. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.
8.     Rumah-rumah ulama
Para ulama di zaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya. Setidaknya itulah yang dilakukan Al-Ghazali ketika ia memilih kehidupan sufi, demikian juga Ali ibn Muhammad Al-Fasihi ketika ia dipecat dari Madrasah Nizhamiyah karena dituduh syi’ah dan juga Ya’qub ibn Killis.
9.     Toko-toko Buku dan Perpustakaan
Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan di situ.
Selain itu, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Penguasa-penguasa biasanya mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja atau di istana raja-raja.
Seorang pelopor pendiri perpustakaan adalah khalifah Al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah.

10.  Rumah  Sakit
Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cuku pesat.
Rumah sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi ada juga sekolah kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit . Dengan demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan.
11.  Badiah (Padang Pasir, Dusun tempat tinggal Badwi)
Badiah merupakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni. Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah lebih berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
12.  Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal. Menurut Stanton, madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Wazir Nizhamiyah pada 1064 M, madrasah ini dikenal dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Namun penelitian lebih akhir, misalnya yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada di kawasan Nisyapur Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah Al-Baihaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan ‘Ali Al-Baihaqi (414 H/ 1023 M). Bulliet bahkan lebih jauh menyebutkan ada 39 madrasah di wilayah Persia yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Yangtertua adalah Madrasaha Niandahiya yang didirikan Abi Ishaq IbrahiNm ibn Mahmud di Nisyapur. Selanjutnya, Abdul Al-‘Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud Ghaznawi Sa’idiyah (berkuasa 388-421 H/ 998-1030 M) juga terdapat Madrasah Sa’idiyah.
 Referensi:
 Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sejarah Dan Ssitem Pendidikan di Indonesia


Sri Murni

A.  SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI  INDONESIA
Sejarah pendiddikan  islam dimulai sejak agama islam masuk ke Indonesia, yaitu kira-kira pada abad keduabelas Masehi. Ahli  sejarah umunya sependapat, bahwa agama islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatra bagian utara di daerah Acceh.
Sejak kapan kah sejarah masuknya islam  itu, tahun berapa, dan siapakah yang mula-mula memasukkan? Tidaklah dapat jawaban yang pasti dalam ssejarah. Setengah ahli sejarah mengatakan, bahwa agama Islam masuk ke daerah Aceh pada pertengahan abad keduabelas Masehi. Setengah dari mereka berpendapat, bahwa islam telah masuk ke aceh sebelum abad keduabelas Masehi. Alasannya ialah karena pada abad keduabelas itu telah banyak ahli-ahli agama yang terkenal di Aceh. Hal itu menunjukkan, bahwa agama islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad keduabelas, karena tidak mungkin islam baru masuk, lalu lahir orang-orang ahli dalam islam itu. Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan setengah ahli sejarah, bahwa orang Arab/Islam ytelah mengenal pulau Sumatra dalam abad kesembilan. Oleh sebab itu banyak di antara mereka datang ke Sumatra dan pulau-pulau Indonesia yang lain untuk berniaga.[1]
Walaupun mereka datang utuk berniaga, tetapi mereka tidak lupa memegang Al-quran di tangan kanannya. Dalam melaksanakan usaha perniagaan, mereka menyiarkan agama Islam kepada penduduk negeri. Dengan berangsur-angsur penduduk negeri tertarik kepada agama islam, lalu  mereka memeluk agama itu. Umumnya ahli sejarah memastikan masuk islam ke daerah Aceh itu dengan perjalanan Marco Polo. Dalam perjalannya pulang dari Tiongkok, ia singgah di Aceh tahun 1292 Masehi.  Menurut keterangannya, di Perlak telah didapat rakyat yang beragama Islam. Perlak adalah pelabuhan besar di Aceh pada masa itu, yang menghadap ke Selat Malaka.
Dengan keterangan tersebut ahli sejarah menetapkan dengan pasti, bahwa agama Islam mula-mula masuk ke Indonesia yaitu di daerah Aceh. Dan dari sanalah Islam memancarkan cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari Minangkabau islam berkembang ke Sulawesi, Ambon, dan sampai ke Pilipina. Kemudian Islam tersiar  ke Jawa Timur, dari sana ke Jawa Tengah, Banten, sampai ke Lampung dan Palembang dan keseluruh pulau di Indonesia. Bukan saja agama islam dianut dan didukumg oleh masyarakat umum, bahkan saat itu telah berdiri juga beberapa kerajaan islam di Indonesia.
Di Sumatra berdiri kerajaan Islam di Pasei, Perlak, Samudra dan bersama pada tahun 1290-1511 M., dan kerajaan Islam di Minangkabau tahun 1500 M. Di Jawa berdiri kerajaan islam Demak tahun 1500-1546 M., dan di Banten tahun 1550-1757 M, dan kerajaan Islam Pajang tahun 1568-1586 M, dan kerajaan Islam Mataram 1575-1757 M.[2]

B.          CARA PENYIARAN PENDIDIKAN ISLAM
Para pedagang muslim yang mula-mula masuk ke Indonesia dengan cara menganjurkan agama islam kepada raja-raja, hal itu dilakukan seperti Nabi Muhammad yang sering berkirim surat dengan para raja untuk memeluk agama Islam. Apabila raja itu telah memeluk agama islam, maka tentulah rakyatnya akan turut memeluk agama itu. Selain itu para penyiar agama Islam juga pandai bergaul dengan penduduk, sehingga mereka dihormati dan disayang penduduk. Maka terciptalah hubungan silaturrahim yang kokoh dan sebab itu juga tidak jarang dari mereka yang menikah sehingga terlahirlah keturunan muslimin.
Agama Islam menyeru tiap-tiap muslim  supaya menyampaikan seruan islam kepada siapa pun dan di mana saja mereka berada. Penyiaran islam harus dilaksanakan dengan cara yang bijaksana dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Rupanya oleh pedagangmuslim dahulu dipegang teguh prinsip tersebut dan turut diamalkan. Di mana ada kesempatan mereka berikan pendidikan dan ajaran islam. Bukan saja dengan perkataan melainkan dengan perbuataan, dengan contoh dan suriteladan. Mereka berlaku sopan, ramah-tamah, tulus- ikhlas, amanah, pengasih, pemurah, dan adil. Pendek kata mereka berbudi pekerti dan berakhlak mulia, semua itu karena mereka cinta dan taat kepada Allah.
Dengan demikian tertariklah penduduk untuk memeluk agama Islam. Kemudian barulah mereka berikan didikan dan ajaran Islam pertama dengan perkataan, yaitu mengucapkan syahadat. Dengan mengucapkan kedua kalimata syahadat itu, mereka telah resmi menjadi seorang muslimin. Alangkah mudahnya masuk agama Islam.
Penyiar-penyiar agama Islam menyiarkan agama Islam di mana saja mereka berada, di pinggir kali, sambil menanti perahu pengangkut barang, di perjamuan, di padang rumput tempat gembala ternak, di tempat penimbunan barang dagangan, di pasar-pasar tempat berjua beli, dll. Di situlah mereka memberikan didikan dan ajaran, dan di sana lah orang menerima didikan dan ajaran, semuanya dilakukan dengan perkataan secara mudah,sehingga mudah sekali dipahami. [3]

C.          HASIL PENYIARAN PENDIDIKAN ISLAM
Sungguh hasil penyiaran agama pendidikan Islam yang mula-mula amat besar dan baik sekali, bahkan menabjukkan, karena dengan berangsur-angsur tersiarlah agama Islam di seluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Sabang sampai ke Maluku, bahkan Pilipina. Menurut statistik jumlah umat Islam di Indonesia lebih kurang 90% banyaknya atau lebih krang 70% juta jiwa. Hal itu semua hasil dari penyebaran agama Islam yang sambung-menyambung sampai sekarang. Tidak kah itu mentakjubkan, sehingga berpuluh-puluh jiwa memeluk agama Islam. Kalau kita bandingkan hasil penyiaran Islam zaman dahulu dengan sekarang, kita akan mengakui bahwa hasil penyiaran Islam pada masa dahulu jauh lebih besar hasilnya dari hasil penyiaran islam pada masa kini. [4]
Apakah sebabnya? Itu semua karena para penyiar agama kita terdahulu menyiarkan Islam dengan caranya Nabi Muhammad Saw. Yaitu
·       Dengan mengajarkan agama islam, agama yang tidak sempit dan tak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah dituruti oleh semua golongan, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucapkan syahadat saja. Oleh karena itu berduyun-duyunlah orang masuk Islam.
·       Yakinilah, bahwa larangan dan perintah dalam Islam itu sedikit dan tidak banyak, dapat dipelajari dalam waktu yang pendek serta mudah diturut dan diamalkan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. Yang artinya “ Mudahkanlah olehmu dan jangan kamu sukar kan!”
·         Penyiaran Islam itu dilakukan dengan berangsur-angsur. Mula-mula dianjurkan keimanan kepada Allah. Setelah tetap dalam hati mereka keimanan itu, barulah mereka disuruh mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji, dan begitu seterusnya, sehingga mereka tidak merasa berat melaksanakan hukum islam.
·         Penyiaran dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya dan bijaksana.
·         Penyiaran dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami, dapat dimengerti semua golongan. Sesusai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Artinya “Berbicaralah kamu dengan manusia menurut kadar akal mereka.”

Dengan berpokok kepada lima dasar tersebut mudahlah tersiar Islam dan berduyun-duyun umat manusia memeluk agama itu. Hal ini patut ditiru oleh para pemimpin dan kita yang ingin menyiarkan agama Islam.[5]

D.          SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Pada awal berkembannya agama islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Seperti telah diterangkan, bahwa agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam kepada orang-orang yang mengelilinginya yaitu mereka yang membeli barang dagangannya. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran Islam.
Sistem pendidikan informal ini, terutama dalam lingkungan keluarga sudah diakui keampuhannya dalam menanamkan sendi-sendi agama dalam jiwa anak-anak. Anak-anak sejak kecil dibiasakan untuk melakukan perbuatan dengan didahului membaca basmalah, membaca al- quran, melakukan shalat berjamaah, berpuasa di bulan ramadhan, dll. Ternyata hal ini mampu memotivasi umat islam untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih baik.[6] Dan karena saat itu mudah sekali untuk masuk islam hanya dengan  membaca syahadat, maka banyak para orangtua yang tidak memiliki ilmu agama islam yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka. Justru itulah anak-anak pergi ke surau/ masjid mengaji kepada seorang guru ngaji atau guru agama. Bahkan dimasyarakay yang kuat agamanya ada suatu tradisi yang mewajibkan anak-anak yang sudah berumur 7tahun meninggalkan rumah dan ibunya untuk tinggal di surau/ langgar mengaji pada guru agama.
Memang dalam permulaan, pendidikan agama Islam di surau/ masjid dilaksanakan dengan sederhana. Modal pokok mereka hanya memiliki semangat menuntut ilmu bagi anak-anak, yang peting bagi para guru agama mereka dapat memberikan ilmu kepada siapa saja, terutama pada anak-anak. Di pusat-pusat pendidikan seperti: di surau/ langgar, serambi rumah sang guru, berkumpul sejumlah murid duduk di lantai menghadap ke sang guru, belajar mengaji. Biasanya waktu belajar diberikan pada waktu petang/malam hari sebab pada waktu siang anak-anak membantu orangtuanya bekerja, sedangkan sang guru bekerja untuk mencari nafkah. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan agama pada anak-anak maupun guru tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari. Itulah sebabnya pelajaran agama dan latihan beragama itu mendapat dukungan dari orangtua dan guru dan seluruh masyarakat kampong. [7]
Tempat-tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi awal terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren dan pendidikan islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah berdasar keagamaan. Pondok pesantren tumbuh sebagai wujud keesistensian umat islam dari pengaruh jajahan Barat dan selain itu dilator belakangi surau/masjid sudah tidak cukup lagi menampung mereka yang ingin belajar dan didorong ingin mengingtensifkan pendidikan agama pada anak-anak. Maka sang guru dibantu masyarakat memperluas areal untuk tempat mengaji sekaligus tempat tinggal anak-anak bersama kyai dan guru-guru. Saat itu kurikulum di pondok pesantren tidak dirancang, terserah kepada murid untuk memilih bidang pengetahuan apa yang akan mereka pelajari dan pada tingkat pelajaran mana mereka ingin memulai.
Seorang murid yang baru masuk di pondok pesantren, tidak secara langsung belajar dengan kyai tetapi lebih dulu belajar dengan asisten kyai , kecuali bila murid tersebut telah sanggup membaca dan memahami ala kadarnya kitab.[8] Demikianlah sistem pondok pesantren tumbuh dan berkembang di mana-mana, yang tyernyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat islam dari serangan dan penindasan fisik maupun mental dari kaum penjajah beberapa abad lamanya.
Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan islam menurut rencana yang teratur sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di Bintara Demak yang ternyata merupakan organisasi pendidikan islam yang pertama di Indonesia.
Pada suatu sidang Dewan Walisongo dari Kerajaan Demak, diputuskan bahwa semua cabang kebudayaan nasional yakni filsafat hidup, kesenian, kesusilaan, adat-istiadat, ilmu pengetahuan dll. Sedapat mungkin diisi dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam. Kebijaksanaan Wali-wali menyiarkan agama dan memasukkan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangatlah memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di kepulauan Indonesia.[9]
Demikianlah setelah Demak, Pajang sebagai pusat pemerintahan Islam pindah ke Mataram, usaha-usaha untuk memantapkan kehidupan agama makin konkrit dan didukung sepenuhnya oleh pejabat-pejabat pemerintahan dari pusat sampai ke desa-desa dengan menggunakan masjid sebagai pusat kegiatannya. Sehingga meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar namun anak-anak laki dan perempuan yang berumur 7tahun harus belajar di tempat pengajian atas kehendak orangtuanya sendiri.
Sistem pendidikan agama islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia. Kejayaan Islam yang mengalami kemunduran  sejak jatuhnya Andalusia kini mulai bangkit dengan munculnya gerakan pembaruan Islam. Sejalan dengan itu pemerintah jajahan (Belanda) mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai menalik kaum muslimin untuk memasukinya, oleh karena itu sistem pendidikan Islam di surau/langgar dan semacamnya, dipandang sudah tidak memadai lagi dan perlu di perbaharui dan disempurnakan.
Jadi keinginan untuk membenahi, memperbaharui dan menyempurnakan sistem pendidikan  Islam ini disebabkan oleh dua hal:
a.            Semakin banyaknya kaum muslimin yang bisa menunaikan ibadah haji ke Makkah dan belajar agama di sana, maka setelah pulang kembali  ke tanah air timbul keinginan untuk mempraktikkan cara-cara penyelenggaraan pendidikan Islam seperti di Makkah, yang pada waktu otu dipelopori oleh Syekh Moh. Abdul, Syekh Moh. Rasyid Rida dll.
b.           Pengaruh sistem pendidikan Barat yang mempunyai program yang leboh terkoordinir dan sistematis yang ternyata telah berhasil mencetak manusia terampil dan terdidik yang semakin jauh dari ajaran Islam.

Dengan membawa pikiran-pikiran baru Islam ke Indonesia dan dalam usaha mengejar ketinggalan di bidang pendidikan dan pengajaran, maka orientasi pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia mengalami perubahan. Apabila dahulu tujuan pokok dari pendidikan Islam agar anak-anak dapat membaca al-quran dan mengetahui pokok-pokok ajaran islam yang perlu dilaksanakn sehari-hari seperti shalat, puasa, zakat, dll. Materinya ditambah lagi dengan mengajarkan ilmu alat, yaitu bahasa Arab agar anak-anak dapat menggali ajaran-ajaran Islam langsung dari sumbernya, sehingga dapat mengembangkan agama Islam dengan cara yang lebih baik.
Realisasi dari keinginan –keinginan ini diperkuat adanya kenyataan bahwa penyelenggaraan pendidikan menurut sistem sekolah seperti sistem Barat akan memberi hasil yang lebih baik. Itulah sebabnya mulai diadakan usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada. Pendidikan di Surau/langgar dan tempat-tempat sejenisnya disempurnakan menjadi madrasah, pondok pesanten atau lembaga-lembaga keagamaan. Demikian sistem klasikal mulai diterapkan, bangku, meja, papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama Islam.  Sebagai contoh, Surau Jembatan Besi di Minangkabau diubah menjadi Madrasah Tawalib, yang lambat laun disempurnakan dengan pemakaian bangku, meja, dll, dan kurikulum yang lebih baik, serta ada uang sekolah untuk anak-anak.
Pembagian jenjang kelas juga mulai diadakan. Misalnya di Sekolah Tawalib, jenjang kelas dibagi menjadi kelas rendah, menengah dan tinggi, yang dalam perkembangannya pembagian jenjang kelas ini diubah yakni untuk kelas rendah dibagi menjadi 4 jenjang  masing-masing satu tahun, sedang untuk kelas menengah dan tinggi dijadikan kelas 5, kelas 6 dan kelas 7.[10]
Demikianlah sistem pendidikan formal, sekolah/madrasah mulai tersebar di mana-mana, bahkan di kalangan pondok pesantren sudah diterapkan pula sistem sekolah/madrasah ini. Dalam perkembangannya sistem madrasah dibedakan menjadi dua macam yaitu, madrasah khusus yang memberi pendidikan dan pengajaran agama sekaligus memberikan pelajaran umum, disebut disebut Madrasah Diniyah. Untuk tingkat dasar disebut Madrasah Ibtida’iyah, untuk tingkat menengah pertama pertama  Madrasah Sanawiyah dan untuk tingkat menengah atas disebut Madrasah Aliyah.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan pendidikan dan pengajaran agama Islam, maka muncul pula lembaga-lembaga pendidikan formal yang berdasarkan keagamaan, di mana pendidikan agama merupakan program pokok, misalnya SMP Islam, SKP Islam, SPG Islam, dll. Demikian pula setelah kita berhasil merebut kemerdekaan, pemerintah Indonesia pun sangat memperhatikan tumbuhnya pendidikan agama Islam. Dalam ha ini pendidikan agama Islam dijadikan salah satu bidang studi yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Dan saat ini semua lembaga-lembaga pendidikan agama, baik formal, informal berjalan dan berkembang terus, dan khusus mengenai pendidikan agama  di sekolah, MPR telah menetapkan dalam GBHN bahwa pendidikan agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah sejak dari sekolah dasar sampai universitas negeri.[11]


E.          ISI PENDIDIKAN ISLAM DI  INDONESIA
Pada awal penyiaran agama Islam di Indonesia, isi pendidikannya saat itu adalah tentang pokok-pokok aqidah agama Islam dan ajaran-ajaran Islam yang mudah dipahami dan dilaksanakan.  Adapun isi pendidikan dan pengajaran agama Islam pada tingkat permulaan ini meliputi:
a. belajar membaca Al- quran
b. pelajaran dan praktek shalat
c. pelajaran keutuhan (teologis)
Pada tingkat permulaan ini mempelajari al –quran hanya dimaksudkan agar anak-anak dapat membaca al- quran  dan mengulang-ngulangnya, belum dirasakan akan perlunya memahami isinya. Demikian pula pelajaran shalat, meskipun anak-anak belum dapat menghafal seluruh bacaan sembahyang, anak-anak dilatih untuk shalat berjamaah, agar anak-anak terbiasa melakukan kewajiban itu.
Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pula bahasa Arab, mulai mempelajari fiqh, misalnya taharah, shalat, zakat, puasa dan haji. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang mengenai aturan-aturan tentang nikah, talak, rujuk, waris.[12] Isi pendidikan tersebut juga berlaku di pondok pesantren, hanya saja karena murid-murid di pondok bertempat tinggal disana maka pelaksanaan pembelajaran lebih intensif.
Karena sistem kelas belum diadakan dan cara mengajarnya masih menggunakan sistem halakah, maka kemajuan muridd dan kapan selesainya pelajaran, sangat bergantung pada kecerasan dan kerajinan murid ada yang cepat, ada pula yang lambat dan bahkan tidak sedikit yang gagal dan drop out, kemudian pulang ke kampong asalnya tanpa membawa hasil yang di harapkan.
Bila disimpulkan, maka isi pendidikan dan pengajaran agama Islam sampai timbul sitem madrasah, baik yang diajarkan di surau, langgar, masjid, maupun pondok pesantren, seebagai berikut :[13]
a.        pengajiyan Al- Quran, pelajarannya meliputi; huru hijaiyah dan membaca al –quran,  ibadat (praktek dan perukunan), keimanan, Akhlaq (dengan cerita dan suri teladan). Pada tingkat yang lebih atas ditambah dengan tajwid, lagu qasidah, berjanji dan sebagainya serta mempelajari kitab perukunan.
b.       Pengajian kitab, pelajarannya meliputi: ilmu saraf, ilmu nahwu, ilmu ffffiqh, ilmu tafsir, dll.
Materi di atas ternyata sama untuk seluruh Indonesia, terutama materi pelajaran jkitab. Pengajian kitab di Jawa dan di seluruh Indonesia pun sama juga keadaannya, dengan di Sumatra. Pelajaran itu dimulai dengan mempergunakan kitab Al-Awamil dan Al-Kalamu, setelah itu kitab fiqh dan tafsir Jalalaain
Kemudian pendidikan islam mengalami babak baru dengan munculnya sistem madrasah, yang penyelenggarannya lebih baik dan teratur. Meskipun kurikulumnya telah diatur dan direncanakan, namun ternyata materi pelajarannya tetap seperti materi sebelumnya. Sampai menjelang adanya gerakan pembaharuan Islam, maka materi pendidikan Islam telah mencakup 12 maacam ilmu dengan bermacam-macam kitabnya, yaitu:
1.   Ilmu Nahwu                                           7. Mustaalah hadis
2.   Ilmu saraf                                              8. Mantiq (logika)
3.   Ilmu fiqh                                                9. Ilmu Ma’ani
4.   Ilmu tafsir                                              10. Ilmu Bayan
5.   Ilmu tauhid                                            11. Ilmu Badi
6.   Ilmu hadis                                              12. Ilmu Ushul Fiqh
Adanya pembaharuan islam mempengaruhi pada tujuan pendidikan islam dan materi-materi pendidikan islam. Bila sebelum ada gerakan pembaharuan titik berat pendidikan islam pada penguasaan bahasa Arab secara fasih dan mengetahuui ajaran islam, maka gerakan pembaharuan islam ini menghendaki    agar murid-,muridnya menggali ajaran islam dari sumbernya yang asli dan kemudian dapat mengembangkannya. Maka dari pendidikan agama islaam lebih banyak ditekankan pada penguasaan secara aktif ilmu alat yaitu bahasa Arab. Di saamping itu, pemberian materi tersebut itu juga bertujuan memberi bekal pada anak-anak agar dapat menyesuaikan diri dalam dunia yang modern, maka selain di madrasah diajarkan agama dibekali jugam ilmu pengetahuan umum.
Sebagai contohh dapat dilihat kurikulum dari Madrasah Salafiah Pesantren Tebuireng Jombang tahun 1919, di samping pelajaran agama dan bahasa Arab seperti telah dilaksanakan, ditambah dengan pelajaran pengetahuan umum, yaitu:
1. membaca dan menulis huruf latin
2. mempelajari bahasa Indonesia
3. mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4. mempelajarii ilmu berhitung

Penjajah telah berhasil menjauhkan sebagian umat Islam yang terpikat oleh sistem pendidikan Barat yang nampak maju dan dapat menjamin kehidupan duniawai seperti pada ilmu kedokteraan, teknik dan pengetahuan lainnya, dari agamanya. Umat Islam sedikit demi sedikit mulai dicabut kepercayaan agamanya sampai keakar-akarnya, terjauh dari bahasa Arab, bahasa internasionalnya, sebaliknya para penjajah justru menyiarkan ide-idenya melalui bahasa umat Islam.
Menyadari akan pentingya pembaharuan sistem pendidikan agama Islam di Indonesia dan sekaligus menanggulangi menjauhnya umat islam dari agamanya akibatnya sistem pendidikan Barat, maka mulailah umat Islam sedikit membuka diri menerima kenyataann social di masyarakat yang makin modern. Sistem pendidikan di madrasah mulai dibenahi dan kurikulumnya tidak lagi mengkhususkan pada pendidikan agama, tetapi telah dimasukkan ilmu pengetahuan umum yang lebih luas disejajarkan dengan pengetahuan umum pada sekolah umum yang sederajat.
Perlunya pemberian pengetahuan umum pada lembaga-lembaga pendidikan agama ini nampak makin menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, sejalan dengan pembangunan yang semakin meningkat dan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai. Maka dari itu, agar lulusan sekolah agama khususnya madrasah, bisa menyesuailkan diri dengan alam yang telah maju, maka timbul usaha-usaha dari pihak pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum sederajat. Untuk mencapai tujuan itu, dikeluarkan SKB3M, surat keputusan tiga menteri, mengenai peningkatan mutu madrasah ini. Berdasarkan SKB3M ini, pengetahuan umum dan pengetahuan agama dibadrasah berbanding (70% pengetahuan umum :30% agama). Tujuan pokok dari SKB3M ini agar mutu pengetahuan umum di madrasah sama dengan mutu pengetahuan umum di sekolah umum. Oleh karena itu ijazah dari madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum. 

Daftar Pustaka

Dra. Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam , (Jakarta: Bumi Aksara, 1992)
Deliar Noer, Gerakan Modern Islama di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,1982)
Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya    
     Agung, 1996)


[1] Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996) hlm. 10
[2] Ibid., hlm. 11
[3] Ibid., hlm. 13
[4] Ibid., hlm. 14
[5] Ibid., hlm. 17
[6] Dra. Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam , (Jakarta: Bumi Aksara, 1992) hlm. 211
[7] Deliar Noer, Gerakan Modern Islama di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,1982) hlm. 62
[8] Deliar Noer,op.cit., hlm.15
[9] Prof. H. Mahmud Yunus, op.cit, hlm. 218
[10] Dra. Zuhairini, dkk. Op.cit, hlm. 217
[11] Ibid , hlm.218
[12] Deliar Noer, op.cit, hlm. 16
[13] Prof. H. Mahmud Yunus, op.cit, hlm. 51